Sebening Embun
Embun. Aku memanggilnya embun. Titik – titik air yg jatuh dari langit di malam hari dan berada di atas dedaunan hijau yang membuatku tenang berada di taman ini, menyerupai tenang nya hatiku ketika berada disamping wanita yang sangat saya kagumi, embun.
“ngapain membisu di situ, ayo sini rei…” teriakan embun yang memecahkan lamunanku. Aku lalu menghampirinya, dan tersenyum manis dihadapan nya.
“gimana kabarmu embun?”
“seperti yang kau lihat, tak ada kemajuan. Obat hanyalah media yang bertujuan memperparah keadaanku. Dan lihat saja ketika ini, saya masih terbaring lemah dirumah sakit kan?”, Keluhnya.
“obat bukan memperparah keadaanmu, tapi mencegah rasa sakitnya. Embun,, kau harus optimis ya”.
“hei rei, saya selalu optimis. Kamu nya aja yang cengeng. Kalo jenguk saya pasti kau mau nangis,, iya kan? Udahlah rei,,, saya udah terima semua yang di takdirkan Tuhan,, dan saatnya saya untuk menjalaninya, kau jgn khawatir, saya baik-baik aja kok”. Benar kata embun, saya selalu ingin menangis ketika melihat keadaannya. Lelaki setegar apapun, pasti akan duka melihat keadaannya, termasuk aku.
***
Sudah 2 ahad tak kutemui senyum embun di sekolah. Sangat sepi yang saya rasakan. Orang yang saya cintai sedang bertaruh nyawa melawan kanker otak yang telah merusak sebagian hidupnya. Apa? Cinta? Apakah benar saya mencintainya??? Entahlah,, saya hanya mencicipi sakit di ketika melihat ia menyerupai ini. ya Tuhan, izinkan saya menggantikan posisinya. Aku tak ingin melihat wanita yang saya sayangi terbaring lemah di sana. Tolong izinkan aku.
Seperti biasa, saya menyempatkan diri setelah pulang sekolah untuk pergi menjenguk embun di rumah sakit.
“hai embun,, bagaimana kabarmu?”
“sudah merasa lebih baik di bandingkan hari kemarin. Gimana keadaan sekolah kita?”
“baik juga. Cuma… ada sedikit keganjalan.”
“keganjalan apa rei?”
“karena di sana tak kutemukan senyummu embun….”
“ada ada aja kau rei,,, hahaha. O iya, kata dokter, besok saya udah di izinin pulang lho. Aku senang banget. Kamu mampu kan jemput saya di sini”.
“apa? Serius?” tanyaku kaget dan senang juga.
“sejak kapan saya mampu bohong sama kamu. Aku serius reivan algibran. Hehehhe”.
“gak perlu sebut nama lengkapku embun azzula,, saya percaya kok”. Senang sekali mampu melihat senyum dan tawamu embun,,, bathinku.
***
Waktu terasa cepat berlalu, sebab sekarang saya sudah berada sempurna di depan pintu kamar embun. Aku mengetuknya dan…” pagi embun,,”
“pagi juga reivan,, gimana, kau dah siapkan antar saya kemanapun saya mau…?”
“siap tuan putri,, saya selalu siap mengantarmu kemanapun engkau mau. Heheheh”
“ok,, sekarang saya pengen ke taman. Tempat kita pertama kali bertemu rei,, kau mampu antar saya ke sana kan?”.
“siip, berangkat”.
Taman ini menjadi daerah favorit kami. Sedih, suka, marah akan kami lontarkan di daerah ini. Tempat yang penuh dengan bunga-bunga yang kami tanam dari nol. Ya, taman ini karya kami. Taman yg terletak sempurna di belakang gedung sekolah. 1 petak tanah yg tak pernah tersentuh oleh tangan manusia, ntah apa alasan mereka. Tanah yg tandus, bunga yg layu telah kami sulap menjadi taman cinta yang begitu indah, yang di tumbuhi bunga2 kesukaan kami. Sejak embun di rawat di rumah sakit, saya tak pernah mengunjungi taman ini, walaupun bersahabat dengan sekolahku.
“rei, kenapa semua bunga di sini layu,, apakah tak pernah kau rawat?”. Tanyanya. Apa yang harus saya jawab,, saya tau, ia pasti marah.
“mereka layu sebab tak ada embun di sini”. jawabku seadanya.
“embun? Bukannya tiap pagi selalu ada embun yg membasahinya?”
“tak ada yg lebih berarti selain embun azzula bagi tanaman ini, termasuk aku”. Jelasku yg membuat ia termenung sesaat.
“maksud kamu?”, ia menatapku dalam.
“tak ada,, mereka cuma butuh embun azzula yg merawatnya, bukan embun biasa dan aku. Mereka kesepian, sebab sudah 2 ahad tak melihat senyum dan tawamu embun”.
“ya, saya menyadarinya itu. Sahabat,,, maafin embun ya,,, maaf selama ini embun gak mampu merawat sahabat serutin kemarin. Itu sebab kesehatan embun yg semakin berkurang. Dulu embun mampu berdiri sendiri, sekarang embun harus menggunakan tongkat, dingklik roda dan bahkan teman. Teman menyerupai rei, yg mampu memapah embun. Thanks y rei..”
“eh,, ii iya, iya embun, sama sama.”
Sudah seharian kami di sini,, tanpa di sadari embun terlelap di pangkuanku. Menetes airmataku ketika melihat semua perubahan fisik yg terjadi padanya. Wajahnya yg pucat, tubuhnya yg semakin kurus, dan rambutnya yg semakin menipis, membuat saya kasihan. Kenapa harus embun yg mengalaminya? Tapi saya juga salut, tak pernah ada airmata di wajahnya. Dia sangat menghargai cobaan yg diberikan Allah kepadanya, ia selalu tersenyum, walaupun bersama-sama saya tau, ada kesedihan dibalik senyum itu.
“rei…” desahnya
“ia embun. Kamu dah berdiri ya? Kita pulang sekarang yuk,,, “ ajakku ketika ia sadar dari mimpinya.
“aku mau di sini terus rei,, kau mau kan nemenin aku. Aku mau menunggu embun datang membasahi tubuhku. Sudah lama sekali saya tak merasakannya”.
“tapi angin malam gak baik buat kesehatan kamu”.
“aku tau, tapi untuk terakhir kali nya rei,,, pliss…”.
“maksud kau apa? Aku gak mau dengar kalimat itu lagi”.
“gak ada maksud apa-apa,,, kita gak tau takdir kan. Dah ah,, kalo kau gak mau nemenin aku, gak apa-apa. Aku mampu sendiri”.
“gak mungkin saya gak nemenin kau embun,, percayalah… saya akan selalu ada untukmu”.
“ gitu dong,, itu gres sahabat aku.” Ucapnya sambil melihat bunga-bunga di sekelilingnya.
“embun…”
“ya,,,”
“kamu suka dengan embun?”
“sangat. Aku sangat menyukainya. Embun itu bening, sangat bening. Dan bening itu menyimpan sejuta kesucian. Aku ingin menyerupai embun, bening dan suci. Menurutmu bagaimana?”
“aku juga mencintai embun. Mencintai embun semenjak mengenal embun”.
“rei, kau tau… saya ingin menyerupai embun. Embun yang mampu hadir dan memberi suasana beda di pagi hari. Embun yg selalu di sambut kedatangannya oleh tumbuhan”.
“kamu sudah menjadi embun yg kau inginkan.”
“maksudmu?”
“tak ada”.
Aku sengaja merahasiakan perasaanku terhadapnya. Karena saya tau, tak ada kata “ya” ketika saya menyatakan perasaanku nanti. ia tak mau pacaran, dan ia benci seorang kekasih, ntah apa alasannya.
Jam sudah menawarkan pukul 5 pagi. Embun pun terlelap kelelahan di sampingku.
“embun,,,, embun,,,,,, berdiri embun,, sekarang sudah pagi. Katanya mau melihat embun, ayo bangun” pujukku,, tapi tak kudengarkan sahutan darinya.
“ayolah embun, bangun. Jangan terlelap terlalu lama…” saya mulai resah, apa yg terjadi. Kurasakan cuek tubuhnya, tapi saya menepis fikiran negatif ku. Mungkin saja cuek ini berasal dari embun pagi.
“embun sayang,, ayo bangun. Jangan buat saya khawatir”. Lagi lagi tak kudengarkan sahutannya. Tubuhnya pucat, dingin, kaku,,. Aku mencoba membawanya kerumah sakit dengan usahaku sendiri. Dan,,, “ kami sudah melaksanakan semaksimal mungkin, tapi Allah berkehendak lain. Embun sudah menghadap sang pencipta” itulah kata-kata dokter yg memeriksa embun yg membuat saya bagai tersambar petir. Aku lemah, jatuh, dan merasa bersalah. Kalau tak sebab saya yang mengajaknya ke taman, mungkin tak kan menyerupai ini. Ya Tuhan, kenapa ini terjadi… saya tak sanggup.
***
Beberapa bulan kemudian….
Aku temui surat berwarna biru dan ada gambar embun di surat itu.
Teruntuk reivan alghibran
Embun…
Titik titik air bening yg jatuh dari langit
Dan membasahi kelopak bunga yg saya sukai.
Aku ingin menyerupai embun, yg mampu hadir di hati orang
Yg menyayanginya. Tapi saya tak menemui siapa orang itu???
Rei … makasih ya, dalam waktu terakhirku, kau mampu menjadi embun di hatiku. Dan tak kan pernah saya lupakan itu. Rei,, maaf jikalau bersama-sama saya suka sama kamu. Aku sengaja tak mengungkapkannya, sebab saya tau.. sahabat lebih berharga di banding kekasih.
O ia rei,,, tolong rawat taman kita ya,, saya gak mau ia layu sebab tak ada yg memperhatikannya lagi. Karena taman itu ialah daerah pertemuan kita pertama dan terakhir kalinya.
sekali lagi,, makasih dah jadi embun selama saya hidup dan tolong,, jadiin saya embun di hatimu ….
salam manis… embun azzula.
“Embun,,,kamu tau, pertama saya kenal kamu, kau telah menjadi embun dihidupku, yang menyejukkan hatiku. Dan kau ialah butiran bening yang selalu buat saya tersenyum, menyerupai embun yang selalu buatmu tersenyum.
Taman ini, bukan saya yg akan merawatnya, tapi kita. Dan taman ini tak akan pernah mati, sebab kau selalu ada di sini, di sini rumah mu.” Kalimat terakhirku ketika meletakkan setangkai bunga mawar yg saya ambil dari taman di atas pusaranya. Pusara yg terletak di tengah-tengah taman embun. Dan kunamai taman itu dengan nama EMBUN. embun.. yang tak kan pernah mati…
the end
Fb : Novie An-Nuril Khiyar
twitt : @noviepurple19
Demikian cerita cinta kali ini, supaya mampu menjadi bacaan menarik...
artikel terkait :
cerita cinta - setelah kepergianmu
cerita cinta - cinta selalu ada Sumber http://eposlima.blogspot.com
Embun. Aku memanggilnya embun. Titik – titik air yg jatuh dari langit di malam hari dan berada di atas dedaunan hijau yang membuatku tenang berada di taman ini, menyerupai tenang nya hatiku ketika berada disamping wanita yang sangat saya kagumi, embun.
“ngapain membisu di situ, ayo sini rei…” teriakan embun yang memecahkan lamunanku. Aku lalu menghampirinya, dan tersenyum manis dihadapan nya.
“gimana kabarmu embun?”
“seperti yang kau lihat, tak ada kemajuan. Obat hanyalah media yang bertujuan memperparah keadaanku. Dan lihat saja ketika ini, saya masih terbaring lemah dirumah sakit kan?”, Keluhnya.
“obat bukan memperparah keadaanmu, tapi mencegah rasa sakitnya. Embun,, kau harus optimis ya”.
“hei rei, saya selalu optimis. Kamu nya aja yang cengeng. Kalo jenguk saya pasti kau mau nangis,, iya kan? Udahlah rei,,, saya udah terima semua yang di takdirkan Tuhan,, dan saatnya saya untuk menjalaninya, kau jgn khawatir, saya baik-baik aja kok”. Benar kata embun, saya selalu ingin menangis ketika melihat keadaannya. Lelaki setegar apapun, pasti akan duka melihat keadaannya, termasuk aku.
***
Sudah 2 ahad tak kutemui senyum embun di sekolah. Sangat sepi yang saya rasakan. Orang yang saya cintai sedang bertaruh nyawa melawan kanker otak yang telah merusak sebagian hidupnya. Apa? Cinta? Apakah benar saya mencintainya??? Entahlah,, saya hanya mencicipi sakit di ketika melihat ia menyerupai ini. ya Tuhan, izinkan saya menggantikan posisinya. Aku tak ingin melihat wanita yang saya sayangi terbaring lemah di sana. Tolong izinkan aku.
Seperti biasa, saya menyempatkan diri setelah pulang sekolah untuk pergi menjenguk embun di rumah sakit.
“hai embun,, bagaimana kabarmu?”
“sudah merasa lebih baik di bandingkan hari kemarin. Gimana keadaan sekolah kita?”
“baik juga. Cuma… ada sedikit keganjalan.”
“keganjalan apa rei?”
“karena di sana tak kutemukan senyummu embun….”
“ada ada aja kau rei,,, hahaha. O iya, kata dokter, besok saya udah di izinin pulang lho. Aku senang banget. Kamu mampu kan jemput saya di sini”.
“apa? Serius?” tanyaku kaget dan senang juga.
“sejak kapan saya mampu bohong sama kamu. Aku serius reivan algibran. Hehehhe”.
“gak perlu sebut nama lengkapku embun azzula,, saya percaya kok”. Senang sekali mampu melihat senyum dan tawamu embun,,, bathinku.
***
Waktu terasa cepat berlalu, sebab sekarang saya sudah berada sempurna di depan pintu kamar embun. Aku mengetuknya dan…” pagi embun,,”
“pagi juga reivan,, gimana, kau dah siapkan antar saya kemanapun saya mau…?”
“siap tuan putri,, saya selalu siap mengantarmu kemanapun engkau mau. Heheheh”
“ok,, sekarang saya pengen ke taman. Tempat kita pertama kali bertemu rei,, kau mampu antar saya ke sana kan?”.
“siip, berangkat”.
Taman ini menjadi daerah favorit kami. Sedih, suka, marah akan kami lontarkan di daerah ini. Tempat yang penuh dengan bunga-bunga yang kami tanam dari nol. Ya, taman ini karya kami. Taman yg terletak sempurna di belakang gedung sekolah. 1 petak tanah yg tak pernah tersentuh oleh tangan manusia, ntah apa alasan mereka. Tanah yg tandus, bunga yg layu telah kami sulap menjadi taman cinta yang begitu indah, yang di tumbuhi bunga2 kesukaan kami. Sejak embun di rawat di rumah sakit, saya tak pernah mengunjungi taman ini, walaupun bersahabat dengan sekolahku.
“rei, kenapa semua bunga di sini layu,, apakah tak pernah kau rawat?”. Tanyanya. Apa yang harus saya jawab,, saya tau, ia pasti marah.
“mereka layu sebab tak ada embun di sini”. jawabku seadanya.
“embun? Bukannya tiap pagi selalu ada embun yg membasahinya?”
“tak ada yg lebih berarti selain embun azzula bagi tanaman ini, termasuk aku”. Jelasku yg membuat ia termenung sesaat.
“maksud kamu?”, ia menatapku dalam.
“tak ada,, mereka cuma butuh embun azzula yg merawatnya, bukan embun biasa dan aku. Mereka kesepian, sebab sudah 2 ahad tak melihat senyum dan tawamu embun”.
“ya, saya menyadarinya itu. Sahabat,,, maafin embun ya,,, maaf selama ini embun gak mampu merawat sahabat serutin kemarin. Itu sebab kesehatan embun yg semakin berkurang. Dulu embun mampu berdiri sendiri, sekarang embun harus menggunakan tongkat, dingklik roda dan bahkan teman. Teman menyerupai rei, yg mampu memapah embun. Thanks y rei..”
“eh,, ii iya, iya embun, sama sama.”
Sudah seharian kami di sini,, tanpa di sadari embun terlelap di pangkuanku. Menetes airmataku ketika melihat semua perubahan fisik yg terjadi padanya. Wajahnya yg pucat, tubuhnya yg semakin kurus, dan rambutnya yg semakin menipis, membuat saya kasihan. Kenapa harus embun yg mengalaminya? Tapi saya juga salut, tak pernah ada airmata di wajahnya. Dia sangat menghargai cobaan yg diberikan Allah kepadanya, ia selalu tersenyum, walaupun bersama-sama saya tau, ada kesedihan dibalik senyum itu.
“rei…” desahnya
“ia embun. Kamu dah berdiri ya? Kita pulang sekarang yuk,,, “ ajakku ketika ia sadar dari mimpinya.
“aku mau di sini terus rei,, kau mau kan nemenin aku. Aku mau menunggu embun datang membasahi tubuhku. Sudah lama sekali saya tak merasakannya”.
“tapi angin malam gak baik buat kesehatan kamu”.
“aku tau, tapi untuk terakhir kali nya rei,,, pliss…”.
“maksud kau apa? Aku gak mau dengar kalimat itu lagi”.
“gak ada maksud apa-apa,,, kita gak tau takdir kan. Dah ah,, kalo kau gak mau nemenin aku, gak apa-apa. Aku mampu sendiri”.
“gak mungkin saya gak nemenin kau embun,, percayalah… saya akan selalu ada untukmu”.
“ gitu dong,, itu gres sahabat aku.” Ucapnya sambil melihat bunga-bunga di sekelilingnya.
“embun…”
“ya,,,”
“kamu suka dengan embun?”
“sangat. Aku sangat menyukainya. Embun itu bening, sangat bening. Dan bening itu menyimpan sejuta kesucian. Aku ingin menyerupai embun, bening dan suci. Menurutmu bagaimana?”
“aku juga mencintai embun. Mencintai embun semenjak mengenal embun”.
“rei, kau tau… saya ingin menyerupai embun. Embun yang mampu hadir dan memberi suasana beda di pagi hari. Embun yg selalu di sambut kedatangannya oleh tumbuhan”.
“kamu sudah menjadi embun yg kau inginkan.”
“maksudmu?”
“tak ada”.
Aku sengaja merahasiakan perasaanku terhadapnya. Karena saya tau, tak ada kata “ya” ketika saya menyatakan perasaanku nanti. ia tak mau pacaran, dan ia benci seorang kekasih, ntah apa alasannya.
Jam sudah menawarkan pukul 5 pagi. Embun pun terlelap kelelahan di sampingku.
“embun,,,, embun,,,,,, berdiri embun,, sekarang sudah pagi. Katanya mau melihat embun, ayo bangun” pujukku,, tapi tak kudengarkan sahutan darinya.
“ayolah embun, bangun. Jangan terlelap terlalu lama…” saya mulai resah, apa yg terjadi. Kurasakan cuek tubuhnya, tapi saya menepis fikiran negatif ku. Mungkin saja cuek ini berasal dari embun pagi.
“embun sayang,, ayo bangun. Jangan buat saya khawatir”. Lagi lagi tak kudengarkan sahutannya. Tubuhnya pucat, dingin, kaku,,. Aku mencoba membawanya kerumah sakit dengan usahaku sendiri. Dan,,, “ kami sudah melaksanakan semaksimal mungkin, tapi Allah berkehendak lain. Embun sudah menghadap sang pencipta” itulah kata-kata dokter yg memeriksa embun yg membuat saya bagai tersambar petir. Aku lemah, jatuh, dan merasa bersalah. Kalau tak sebab saya yang mengajaknya ke taman, mungkin tak kan menyerupai ini. Ya Tuhan, kenapa ini terjadi… saya tak sanggup.
***
Beberapa bulan kemudian….
Aku temui surat berwarna biru dan ada gambar embun di surat itu.
Teruntuk reivan alghibran
Embun…
Titik titik air bening yg jatuh dari langit
Dan membasahi kelopak bunga yg saya sukai.
Aku ingin menyerupai embun, yg mampu hadir di hati orang
Yg menyayanginya. Tapi saya tak menemui siapa orang itu???
Rei … makasih ya, dalam waktu terakhirku, kau mampu menjadi embun di hatiku. Dan tak kan pernah saya lupakan itu. Rei,, maaf jikalau bersama-sama saya suka sama kamu. Aku sengaja tak mengungkapkannya, sebab saya tau.. sahabat lebih berharga di banding kekasih.
O ia rei,,, tolong rawat taman kita ya,, saya gak mau ia layu sebab tak ada yg memperhatikannya lagi. Karena taman itu ialah daerah pertemuan kita pertama dan terakhir kalinya.
sekali lagi,, makasih dah jadi embun selama saya hidup dan tolong,, jadiin saya embun di hatimu ….
salam manis… embun azzula.
“Embun,,,kamu tau, pertama saya kenal kamu, kau telah menjadi embun dihidupku, yang menyejukkan hatiku. Dan kau ialah butiran bening yang selalu buat saya tersenyum, menyerupai embun yang selalu buatmu tersenyum.
Taman ini, bukan saya yg akan merawatnya, tapi kita. Dan taman ini tak akan pernah mati, sebab kau selalu ada di sini, di sini rumah mu.” Kalimat terakhirku ketika meletakkan setangkai bunga mawar yg saya ambil dari taman di atas pusaranya. Pusara yg terletak di tengah-tengah taman embun. Dan kunamai taman itu dengan nama EMBUN. embun.. yang tak kan pernah mati…
the end
Fb : Novie An-Nuril Khiyar
twitt : @noviepurple19
Demikian cerita cinta kali ini, supaya mampu menjadi bacaan menarik...
artikel terkait :
cerita cinta - setelah kepergianmu
cerita cinta - cinta selalu ada Sumber http://eposlima.blogspot.com