Asal Mula Danau Limboto
Danau Limboto merupakan sebuah danau yang terletak di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo Indonesia. Dulunya, danau ini berjulukan Bulalo lo limu o tutu, yang berarti danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, eksistensi danau seluas kurang lebih 3.000 hektar ini disebabkan oleh sebuah peristiwa gila yang terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah yang menimbulkan terjadinya Danau Limboto? Ikuti kisahnya dalam kisah Asal Mula Danau Limboto berikut ini!
* * *
Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Kedua gunung tersebut merupakan petunjuk arah bagi masyarakat yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut. Gunung Bilohuto menunjukkan arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah timur.
Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga tempat itu berubah menjadi daratan. Tak beberapa lama kemudian, tempat itu berubah menjadi hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar. Salah satu di antara mata air tersebut mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-tengah hutan dan jarang dijamah oleh insan tersebut berjulukan Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi oleh tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan air.
Pada suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang cowok ganteng berjulukan Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan berkembang menjadi menjadi manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi hingga matanya tidak berkedip sedikitpun.
“Aduhai.... cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto dengan takjub.
Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya untuk mengambil salah satu sayap mereka yang diletakkan di atas watu besar, sehingga si pemilik sayap itu tidak dapat terbang kembali ke kahyangan. Dengan begitu, maka ia dapat memperistrinya. Ketika para bidadari tersebut sedang asyik bersendau gurau, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat sayap-sayap tersebut diletakkan. Setelah berhasil mengambil salah satu sayap bidadari tersebut, cowok ganteng itu kembali bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan berkemas-kemas untuk pulang ke Kahyangan. Setelah memakai kembali sayap masing-masing, mereka pun berkemas-kemas terbang ke angkasa. Namun, salah seorang di antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
“Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu yaitu bidadari tertua yang berjulukan Mbu`i Bungale. Keenam adiknya segera membantu sang Kakak untuk mencari sayap yang hilang tersebut. Mereka telah mencari ke sana kemari, namun sayap tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai gelap, keenam bidadari itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di erat Mata Air Tupalo.
“Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!” seru bidadari yang bungsu.
“Adikku...! Jangan tinggalkan Kakak!” teriak Mbu`i Bungale ketika melihat keenam adiknya sedang terbang menuju ke angkasa.
Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggallah Mbu`i Bungale seorang diri di tengah hutan. Hatinya sangat sedih, karena ia tidak bisa bertemu lagi dengan keluarganya di Kahyangan. Beberapa ketika kemudian, Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera menghampiri Mbu`i Bungale.
“Hai, Bidadari cantik! Kenapa kau bersedih begitu?” tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
“Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan,” jawab Mbu`i Bungale.
Mendengar balasan itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu`i Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah dengan Jilumoto. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk tinggal bersama di bumi. Mereka pun mencari tanah untuk bercocok tanam. Setelah berapa lama mencari, risikonya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit itulah mereka mendirikan sebuah rumah sederhana dan berladang dengan menanam banyak sekali macam jenis tanaman yang dapat dimakan. Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di erat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai tolu atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang melintas dan melihat mati air Tupalo tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan hambar itu, mereka segera meminumnya karena kehausan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Usai minum, salah seorang di antara mereka melihat ada tudung tergeletak di erat mata air Tupalo.
“Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung?” seru salah seorang dari pelancong itu.
“Benar, kawan! Itu yaitu tudung,” kata seorang pelancong lainnya.
“Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?” sahut pelancong yang lainnya dengan heran.
Oleh Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-tiba angin puting-beliung dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian disusul dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu pun berlarian mencari pertolongan biar terhindar dari marabahaya. Untungnya, angin puting-beliung dan angin topan tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka dapat selamat.
Setelah angin puting-beliung dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air Tupalo. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Oleh karena masih penasaran ingin mengetahui benda yang ditutupi tudung itu, mereka pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu. Sebelum mengangkatnya, mereka meludahi episode atas tudung itu dengan sepah pinang yang sudah dimantrai biar angin puting-beliung dan topan tidak kembali terjadi. Betapa terkejutnya mereka ketika mengangkat tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang tak lain yaitu mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika itu. Namun begitu mereka akang mengambil mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.
“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena benda itu milik kami!” pinta Mbu`i Bungale.
“Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini!” seru seorang pemimpin pelancong.
“Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu,” jawab Mbu`i Bungale dengan tenang.
“Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini yaitu milik kami. Jadi, tak seorang pun yang boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika ini!” hardik pemimpin pelancong itu.
“Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian?” tanya Mbui`i Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
“Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah yang telah memberinya,” ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengukuhan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.
“Hai, saya ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Yang Mahakuasa Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan rakus mirip kalian. Tapi, kalau memang benar kalian pemilik dan penguasa di tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, saya siap untuk menantang kalian!” seru Mbu`i Bungale.
Keempat pelancong itu pun bersedia mendapatkan tantangan Mbu`i Bungale. Si pemimpin pelancong segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh kemampuannya.
“Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah,” demikian suara mantranya.
Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar. Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan kekuatan dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-kelamaan keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali tersenyum.
“Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru Mbu`i Bungale.
“Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya cendekia bicara!” sergah pemimpin pelancong itu balik menantang Mbu`i Bungale. “Jika kau pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
“Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Yang Mahakuasa Maha Tahu mana hambanya yang benar, permintaannya akan dikabulkan!” ujar jawab Mbu`i Bungale dengan penuh keyakinan.
Usai berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
“Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari.... membesarlah....!!!” demikian doa Mbu`i Bungale.
Usai berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan memerintahkan keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi, karena sebentar lagi tempat itu akan tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun dikabulkan. Beberapa ketika kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas, kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu tergenang air. Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari atas pohon kapuk.
Semakin lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir mencapai tempat keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun berteriak-teriak ketakutan.
“Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan seisinya!” teriak pemimpin pelancong itu.
Mbu`i Bungale yaitu bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada Yang Mahakuasa biar semburan mata air Tupalo dikembalikan mirip semula, sehingga genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan keempat pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada mata air Tupalo kembali mirip semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu`i Bungale segera mengambil tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya, mustika yang ibarat telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Wajahnya bercahaya bagaikan cahaya bulan. Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango Hula, diambil dari kata Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan. Menurut cerita, Tolango Hula itulah yang kelak menjadi Raja Limboto.
Setelah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis kecil itu dan mengajak keempat pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale melihat lima buah benda terapung-apung di tengah danau.
“Hai, benda apa itu?” seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil menunjuk ke arah benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima benda tersebut.
“Bukankah ini buah jeruk?” pikirnya saat mengamati buah tersebut.
Setelah mencubit dan mencium buah tersebut, lalu mengamatinya, maka yakinlah Mbu`i Bungale bahwa buah jeruk itu sama mirip yang ada di Kahyangan. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud untuk memeriksa pepohonan yang tumbuh di sekitar danau.
“Kanda, tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon jeruk yang tumbuh,” ujar Mbu`i Bungale seraya menyerahkan bayinya kepada sang Suami, Jilumoto.
Setelah beberapa ketika mencari dan memeriksa, risikonya Mbu`i Bungale menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk memastikan bahwa pohon yang ditemukan itu benar-benar pohon jeruk dari Kahyangan, ia segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
“Kanda, kemarilah sebentar!” seru Mbu`i Bungale.
“Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini mirip jeruk Kahyangan, Kanda?” ujarnya.
Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi mereka. Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan buah jeruk itu berasal dari Kahyangan.
“Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini mirip yang ada di Kahyangan,” kata Jilumoto.
“Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini?” ucap Mbu`i Bungale dengan heran.
Beberapa ketika kemudian, Mbu`i Bungale gres menyadari bahwa eksistensi pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Yang Mahakuasa Yang Mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yang gres saja terjadi di daerah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu, yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan, masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.
* * *
Demikian kisah Asal Mula Danau Limboto dari Provinsi Gorontalo, Indonesia. Hingga kini Danau Limboto menjadi salah satu obyek wisata menarik di Gorontalo. Para pengunjung dapat menikmati banyak sekali aktivitas mirip memancing, lomba berperahu, dan menikmati ikan bakar segar. Pesan moral yang dapat dipetik dari kisah di atas dapat dilihat pada keberanian dan kegigihan Mbu`i Bungale mempertahankan hak miliknya dengan menantang keempat orang pelancong untuk memperluas mata air Tupalo. Dalam kehidupan orang Melayu, mempertahankan hak milik sendiri sangatlah dianjurkan sebagaimana dikatakan dalam tunjuk latih berikut ini:
apa tanda melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela
Demikianlah cerita rakyat kali ini, semoga menunjukkan pandangan gres dan pesan moral. Sumber http://eposlima.blogspot.com
Danau Limboto merupakan sebuah danau yang terletak di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo Indonesia. Dulunya, danau ini berjulukan Bulalo lo limu o tutu, yang berarti danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, eksistensi danau seluas kurang lebih 3.000 hektar ini disebabkan oleh sebuah peristiwa gila yang terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah yang menimbulkan terjadinya Danau Limboto? Ikuti kisahnya dalam kisah Asal Mula Danau Limboto berikut ini!
* * *
Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Kedua gunung tersebut merupakan petunjuk arah bagi masyarakat yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut. Gunung Bilohuto menunjukkan arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah timur.
Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga tempat itu berubah menjadi daratan. Tak beberapa lama kemudian, tempat itu berubah menjadi hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar. Salah satu di antara mata air tersebut mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-tengah hutan dan jarang dijamah oleh insan tersebut berjulukan Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi oleh tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan air.
Pada suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang cowok ganteng berjulukan Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan berkembang menjadi menjadi manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi hingga matanya tidak berkedip sedikitpun.
“Aduhai.... cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto dengan takjub.
Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya untuk mengambil salah satu sayap mereka yang diletakkan di atas watu besar, sehingga si pemilik sayap itu tidak dapat terbang kembali ke kahyangan. Dengan begitu, maka ia dapat memperistrinya. Ketika para bidadari tersebut sedang asyik bersendau gurau, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat sayap-sayap tersebut diletakkan. Setelah berhasil mengambil salah satu sayap bidadari tersebut, cowok ganteng itu kembali bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan berkemas-kemas untuk pulang ke Kahyangan. Setelah memakai kembali sayap masing-masing, mereka pun berkemas-kemas terbang ke angkasa. Namun, salah seorang di antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
“Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu yaitu bidadari tertua yang berjulukan Mbu`i Bungale. Keenam adiknya segera membantu sang Kakak untuk mencari sayap yang hilang tersebut. Mereka telah mencari ke sana kemari, namun sayap tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai gelap, keenam bidadari itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di erat Mata Air Tupalo.
“Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!” seru bidadari yang bungsu.
“Adikku...! Jangan tinggalkan Kakak!” teriak Mbu`i Bungale ketika melihat keenam adiknya sedang terbang menuju ke angkasa.
Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggallah Mbu`i Bungale seorang diri di tengah hutan. Hatinya sangat sedih, karena ia tidak bisa bertemu lagi dengan keluarganya di Kahyangan. Beberapa ketika kemudian, Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera menghampiri Mbu`i Bungale.
“Hai, Bidadari cantik! Kenapa kau bersedih begitu?” tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
“Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan,” jawab Mbu`i Bungale.
Mendengar balasan itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu`i Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah dengan Jilumoto. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk tinggal bersama di bumi. Mereka pun mencari tanah untuk bercocok tanam. Setelah berapa lama mencari, risikonya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit itulah mereka mendirikan sebuah rumah sederhana dan berladang dengan menanam banyak sekali macam jenis tanaman yang dapat dimakan. Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di erat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai tolu atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang melintas dan melihat mati air Tupalo tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan hambar itu, mereka segera meminumnya karena kehausan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Usai minum, salah seorang di antara mereka melihat ada tudung tergeletak di erat mata air Tupalo.
“Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung?” seru salah seorang dari pelancong itu.
“Benar, kawan! Itu yaitu tudung,” kata seorang pelancong lainnya.
“Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?” sahut pelancong yang lainnya dengan heran.
Oleh Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-tiba angin puting-beliung dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian disusul dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu pun berlarian mencari pertolongan biar terhindar dari marabahaya. Untungnya, angin puting-beliung dan angin topan tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka dapat selamat.
Setelah angin puting-beliung dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air Tupalo. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Oleh karena masih penasaran ingin mengetahui benda yang ditutupi tudung itu, mereka pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu. Sebelum mengangkatnya, mereka meludahi episode atas tudung itu dengan sepah pinang yang sudah dimantrai biar angin puting-beliung dan topan tidak kembali terjadi. Betapa terkejutnya mereka ketika mengangkat tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang tak lain yaitu mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika itu. Namun begitu mereka akang mengambil mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.
“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena benda itu milik kami!” pinta Mbu`i Bungale.
“Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini!” seru seorang pemimpin pelancong.
“Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu,” jawab Mbu`i Bungale dengan tenang.
“Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini yaitu milik kami. Jadi, tak seorang pun yang boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika ini!” hardik pemimpin pelancong itu.
“Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian?” tanya Mbui`i Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
“Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah yang telah memberinya,” ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengukuhan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.
“Hai, saya ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Yang Mahakuasa Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan rakus mirip kalian. Tapi, kalau memang benar kalian pemilik dan penguasa di tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, saya siap untuk menantang kalian!” seru Mbu`i Bungale.
Keempat pelancong itu pun bersedia mendapatkan tantangan Mbu`i Bungale. Si pemimpin pelancong segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh kemampuannya.
“Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah,” demikian suara mantranya.
Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar. Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan kekuatan dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-kelamaan keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali tersenyum.
“Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru Mbu`i Bungale.
“Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya cendekia bicara!” sergah pemimpin pelancong itu balik menantang Mbu`i Bungale. “Jika kau pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
“Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Yang Mahakuasa Maha Tahu mana hambanya yang benar, permintaannya akan dikabulkan!” ujar jawab Mbu`i Bungale dengan penuh keyakinan.
Usai berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
“Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari.... membesarlah....!!!” demikian doa Mbu`i Bungale.
Usai berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan memerintahkan keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi, karena sebentar lagi tempat itu akan tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun dikabulkan. Beberapa ketika kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas, kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu tergenang air. Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari atas pohon kapuk.
Semakin lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir mencapai tempat keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun berteriak-teriak ketakutan.
“Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan seisinya!” teriak pemimpin pelancong itu.
Mbu`i Bungale yaitu bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada Yang Mahakuasa biar semburan mata air Tupalo dikembalikan mirip semula, sehingga genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan keempat pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada mata air Tupalo kembali mirip semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu`i Bungale segera mengambil tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya, mustika yang ibarat telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Wajahnya bercahaya bagaikan cahaya bulan. Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango Hula, diambil dari kata Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan. Menurut cerita, Tolango Hula itulah yang kelak menjadi Raja Limboto.
Setelah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis kecil itu dan mengajak keempat pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale melihat lima buah benda terapung-apung di tengah danau.
“Hai, benda apa itu?” seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil menunjuk ke arah benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima benda tersebut.
“Bukankah ini buah jeruk?” pikirnya saat mengamati buah tersebut.
Setelah mencubit dan mencium buah tersebut, lalu mengamatinya, maka yakinlah Mbu`i Bungale bahwa buah jeruk itu sama mirip yang ada di Kahyangan. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud untuk memeriksa pepohonan yang tumbuh di sekitar danau.
“Kanda, tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon jeruk yang tumbuh,” ujar Mbu`i Bungale seraya menyerahkan bayinya kepada sang Suami, Jilumoto.
Setelah beberapa ketika mencari dan memeriksa, risikonya Mbu`i Bungale menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk memastikan bahwa pohon yang ditemukan itu benar-benar pohon jeruk dari Kahyangan, ia segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
“Kanda, kemarilah sebentar!” seru Mbu`i Bungale.
“Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini mirip jeruk Kahyangan, Kanda?” ujarnya.
Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi mereka. Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan buah jeruk itu berasal dari Kahyangan.
“Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini mirip yang ada di Kahyangan,” kata Jilumoto.
“Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini?” ucap Mbu`i Bungale dengan heran.
Beberapa ketika kemudian, Mbu`i Bungale gres menyadari bahwa eksistensi pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Yang Mahakuasa Yang Mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yang gres saja terjadi di daerah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu, yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan, masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.
* * *
Demikian kisah Asal Mula Danau Limboto dari Provinsi Gorontalo, Indonesia. Hingga kini Danau Limboto menjadi salah satu obyek wisata menarik di Gorontalo. Para pengunjung dapat menikmati banyak sekali aktivitas mirip memancing, lomba berperahu, dan menikmati ikan bakar segar. Pesan moral yang dapat dipetik dari kisah di atas dapat dilihat pada keberanian dan kegigihan Mbu`i Bungale mempertahankan hak miliknya dengan menantang keempat orang pelancong untuk memperluas mata air Tupalo. Dalam kehidupan orang Melayu, mempertahankan hak milik sendiri sangatlah dianjurkan sebagaimana dikatakan dalam tunjuk latih berikut ini:
apa tanda melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela
Demikianlah cerita rakyat kali ini, semoga menunjukkan pandangan gres dan pesan moral. Sumber http://eposlima.blogspot.com