BENAR-BENAR TAK BISA
Oleh Ellaisda
Kamarku mulai terasa hangat. Cahaya sang mentari mulai menyilaukan mataku yang belum sepenuhnya terbuka. Aku berusaha berdiri dari ranjangku dan berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Segera mandi, dan bla bla bla. Rutinitas pagi yang setiap pelajar lakukan.
“Pagi ayah, ibu..” sapaku ketika bertemu mereka di meja makan
“Makan dulu gih..” pinta ibuku
“Nggak deh bu, si Ega udah nungguin di depan rumah. Nih, dari tadi beliau misscalled melulu.”
“Kok nggak diajak masuk?” sahut ayahnya
“Nggak usah yah. Kapan-kapan saja, udah keburu nih. Berangkat dulu Yah, Bu. Assalamualaikum.” Ucapnya sambil mencium tangan ayah dan ibunya
**
“Ayo cepetan! Sudah hampir telat nih..”
“Iya iya, tabah sedikit lah. Bawel banget sih jadi cowok.” Aku segera naik keboncengan motornya
Ega itu temanku semenjak TK. Rumah kami dekat, jadi setiap hari selalu berangkat bersama. Kami sangat dekat. Kemana-mana selalu berdua. Dimana ada dia, disitu ada aku. Seperti Galih dan Ratna. Banyak orang yang salah paham ketika melihat kami berdua, banyak yang menduga kami pacaran, padahal belom (Ngarep jadi pacar).
**
“Huft, untung belom telat. Kamu sih, LEMOT..” sambil menjitak keningku
“Argh, sakit tau! Dasar bawel. Biasanya kau yang telat saja saya nggak protes, giliran aku, diomelin terus. Huh!”
“Heh, wajah mu nggak cocok buat marah. Nggak kelihatan imut tau!” goda Ega
“Whatever you said. I dont care.” Aku pun bergegas masuk ke kelas, diikuti oleh Ega
**
Aku duduk di kursi ku. Lalu tiba-tiba Ega nongol di sampingku, padahal kelasnya berjarak 2 kelas dari kelas ku. Belom sempat saya nanya, beliau sudah berceloteh duluan.
“Eh, Ra, jadi pengen cari pacar nih. Anak kelas 1 imut-imut ya?”
Aku tersentak. Terus terang, saya merasa cemburu. Tanpa disadari, perasaan cinta telah ada dan berkembang dihatiku. Entah dari mana dan semenjak kapan cinta itu datang, tapi yang jelas, kebersamaan kami telah menumbuhkan benih-benih cinta. Tapi saya tak berani mengungkapkannya. Aku takut akan merrusak persahabatan kami.
“Ya itu sih terserah lo. Kan lo yang ngejalanin, lagian juga sering begitu kan sama cewek lain. Dan lagi, cewek kelas 1 banyak yang centil kan? Lo suka kan?” jawabku dengan nada sinis
“Jealous ya? Aku nggak suka sama cewek centil, yang penting baik, cantik, imut dan plus plus lainnya. Haha” ia tertawa sendiri, padahal menurutku nggak ada yang lucu. Kubalas saja dengan senyum nggak ikhlas. Tapi saya lega mendengarnya. Untung saja beliau punya selera yang tinggi. Walaupun beliau berulang kali ngomong mau cari pacar, tapi nggak pernah ada yang kena dihatinya. “Alhamdulillah.” batinku
**
Usai pulang sekolah, kami selalu bergegas pulang. Dan menyerupai biasa, saya menunggu Ega mengembil motornya di depan gerbang sekolah. Nggak di depan gerbang sekolah sih, tolong-menolong udah jauh dari gerbang. Sekitar 15 meter lah. Ngga sengaja saya lihat seorang gadis manis yang terlihat ketakutan karena digoda oleh beberapa brandalan yang nggak jelas. Tanpa pikir panjang, saya pun menghampirinya.
“Dek, maaf ya menunggu lama. Ayo pulang.” Aku pura-para saja sok kenal demi menyelamatkannya. Walaupun ia terlihat agak bingung, tapi ia mengiyakan saja tawaranku.
**
Setelah jauh dari berandalan itu,
“Terimakasih ya kak. Aku nggak tau deh, bila nggak ada kakak tadi. Aku Tita, kelas 1-B.” Ia melempar senyum manis padaku
“Iya dek, sama-sama. Aku Fara, 2-A4. Lain kali, bila menunggu di depan gerbang saja, atau disini. Memang disana banyak orang nggak jelas. Duluan ya dek.”
“Iya kak, hati-hati.”
Aku bergegas menuju Ega karena semenjak tadi ia terus membunyikan klaksonnya.
**
Beberapa hari kemudian, saya bertemu Tita lagi. Kami bertukar nomor HP, dan bahkan Tita pun mentraktirku makan di kantin. Kami menjadi semakin dekat. Ega pun tau hal itu.
**
Pagi ini, Ega terlihat sangat sumringah. Walaupun ia selalu bersemangat dalam segala hal, tapi ia lebih sumringah hari ini.
“Cewek yang kau tolong dulu namanya Tita kan?”
“Hemb.” Jawabku singkat. Sekarang saya jadi tau apa alasannya beliau sumringah banget hari ini. “Pantas saja, kemarin beliau memberondongku dengan pertanyaan tentangnya (Tita).” Batinku
“Dia manis ya?”
Aku hanya mengangguk
“Kamu punya nomor HP-nya kan? Boleh minta?” pintanya dengan wajah memelas
“Nih!” ku serahkan HP ku padanya. Aku pun nggak risau, karena beliau sering meminta nomor HP cewek lain, tapi pada kesannya nggak cocok.
**
Ega belakangan ini sangat sibuk. Jarang berangkat bareng, jarang nongol secara tiba-tiba, SMS ku nggak dibalas, telpon ku pun nggak diangkat. “Kemana dia? Kok hilang begitu saja? Apa sih maunya?!” teriakku kesal dalam hati
**
Suatu siang, beliau tiba-tiba nongol begitu saja dihadapanku ketika saya sedang mendengarkan musik di headset. Aku lega karena mampu melihatnya lagi.
“Sendirian Ra? Maaf ya, kita belakangan ini jarang berangkat bareng. SMS dan telpon mu juga nggak sempat saya jawab, saya belakangan ini sangat sibuk dan jarang buka HP.” Jelasnya panjang lebar
“Oh.” Jawabku singkat. Aku tahu beliau sedang bohong. Padahal jelas-jelas lagi pegang HP, tapi apa saya harus marah gitu? Memang saya siapanya dia?
“Kamu nggak khawatir bila saya nggak ada kabar?”
“Nggak tuh, biasa saja. Baru seminggu kan?”
“(hahaha). Bilang saja bila kamu..” belum saja beliau selesai menjawab, HP nya berdering. Wajahnya terlihat sumringah dan sedikit gugup ketika melihat nama penelpon di layar HP-nya. Aku jadi penasaran dan mematikan musik, tapi tetap memakai heatset. Kini saya bersiap menguping pembicaraannya. Dia menarik napas panjang sebelum menggeser pilihan layar accept pada HP touchscreen-nya. Suara lembut pun terdengar dari HP-nya. Suara yang ku kenal, bunyi Tita.
“Maaf kak, saya tadi lagi sibuk. Kakak tidak marah kan?”
“Oh, nggak kok.” Jawab Ega dengan senyum mengembang
Entah kenapa, saya menjadi duka nggak karuan. Aku malah duka melihatnya senang. Aku malah benci melihatnya tersenyum kepada orang lain. Aku marah, tapi tak tau harus bagaimana. saya ingin meng-ungkapkannya, tapi itu tidak mungkin. Aku menggenggam erat tanganku, berusaha menahan semuanya. Tapi air mata ini tak terelakkan lagi. Aku pun menengis sejadi-jadinya.
**
Suara Ega memecah tangisku.
“Ra, kau baik-baik saja kan?” tanya-nya dengan khawatir
“Eh, nggak pa-pa. Abis, lagunya duka banget.” elak ku
“(hahaha) Sejak kapan lo jadi melankolis gini?” ejeknya
Aku tidak menjawab dan masih berusaha untuk terlihat biasa saja.
“Sabtu besok, saya akan menyatakan cinta ke Tita. Kamu ikut ya? Aku pengen kau yang jadi saksinya.” Pintanya memelas
Aku tersenyum kecut, “Emangnya nikah apa? Pakai saksi segala, hehe.”
Aku berusaha membuat diriku lebih baik. Tapi saya tetap tidak bisa, dadaku masih saja sesak ketika tahu kenyataan ini.
**
Hari-hari semakin menyedihkan. Ega semakin gencar menceritakan Tita. Mau tidak mau, saya harus mendengarkan, walaupun dengan wajah bermuram durja. Hatiku menyerupai bara yang disulut api ketika melihatnya tersenyum kepada Tita. Kadang saya berpikir, apakah beliau sebodoh itu, sampai ia tidak menyadari perasaanku? Ingin rasanya saya berteriak di depannya perihal perasaan ku, tapi mana mungkin? Itu semua hanya tindakan konyol yang nggak perhatiin karena dan akibat.
**
Hari ini yaitu hari yang ditunggu oleh Ega. Tapi hari yang ingin sekali saya lewati selamanya. Mereka berjanji bertemu di cafe ini. Cafe yang berinterior sederhana, dengan lampu taman yang menghiasi setiap meja. Memang sangat romantis untuk menyatakan cinta. Aku sangat berharap Tita tidak mampu datang, atau bahkan sesuatu terjadi padanya sampai ia tak mungkin lagi muncul. “Ah, apa yang saya pikirkan? Aku memang mencintai Ega, tapi saya tidak mau menjadi monster untuk mendapatkannya!” celotehku dalam hati
**
Tak berapa lama, Tita pun muncul. Ia muncul dengan wajah yang berseri-seri sambil tersenyum manis pada Ega. Sadar bila suasananya semakin menyebalkan, saya pun pindah meja. Lalu, Tita duduk di depan Ega, di kursi yang sebelumnya saya duduki. Klimaksnya pun dimulai. Ega memegang tangan Tita, dan mengucapkan sesuatu. Meski saya tidak mampu mendengarnya dengan jelas, karena kawasan duduk kami lumayan jauh, tapi saya mampu menebaknya. “Aku suka kamu. Apa kau mau jadi pacarku?” kurang lebih itu yang Ega katakan. Sesaat kemudian, senyum manis dan anggukan Tita menyambut pertanyaan Ega.
Aku sudah tidak trauma lagi, tapi kenapa hati ini tidak mampu biasa saja melihat semua itu. Dan (lagi) saya menangis. Aku pergi meninggalkan mereka berdua. Aku benar-benar tak tahan. Aku benar-benar tidak mau menjadi saksi cinta mereka berdua. Aku, benar-benar tak bisa.
**
Aku berlari menjauh. Sejauh mungkin dari mereka. Aku ingin pergi ke kawasan dimana tidak ada mereka. Tak ada yang menyebut nama mereka. Dan tak ada satu pun perihal mereka.
Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Tubuhku lemas untuk menopang badan kecilku. Kesadaranku mulai hilang, dan tubuhku ambruk begitu saja. (to be continue)
Demikian cerpen sedih kali ini, tunggu update cerpen duka selanjutnya ... Sumber http://eposlima.blogspot.com
Oleh Ellaisda
Kamarku mulai terasa hangat. Cahaya sang mentari mulai menyilaukan mataku yang belum sepenuhnya terbuka. Aku berusaha berdiri dari ranjangku dan berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Segera mandi, dan bla bla bla. Rutinitas pagi yang setiap pelajar lakukan.
“Pagi ayah, ibu..” sapaku ketika bertemu mereka di meja makan
“Makan dulu gih..” pinta ibuku
“Nggak deh bu, si Ega udah nungguin di depan rumah. Nih, dari tadi beliau misscalled melulu.”
“Kok nggak diajak masuk?” sahut ayahnya
“Nggak usah yah. Kapan-kapan saja, udah keburu nih. Berangkat dulu Yah, Bu. Assalamualaikum.” Ucapnya sambil mencium tangan ayah dan ibunya
**
“Ayo cepetan! Sudah hampir telat nih..”
“Iya iya, tabah sedikit lah. Bawel banget sih jadi cowok.” Aku segera naik keboncengan motornya
Ega itu temanku semenjak TK. Rumah kami dekat, jadi setiap hari selalu berangkat bersama. Kami sangat dekat. Kemana-mana selalu berdua. Dimana ada dia, disitu ada aku. Seperti Galih dan Ratna. Banyak orang yang salah paham ketika melihat kami berdua, banyak yang menduga kami pacaran, padahal belom (Ngarep jadi pacar).
**
“Huft, untung belom telat. Kamu sih, LEMOT..” sambil menjitak keningku
“Argh, sakit tau! Dasar bawel. Biasanya kau yang telat saja saya nggak protes, giliran aku, diomelin terus. Huh!”
“Heh, wajah mu nggak cocok buat marah. Nggak kelihatan imut tau!” goda Ega
“Whatever you said. I dont care.” Aku pun bergegas masuk ke kelas, diikuti oleh Ega
**
Aku duduk di kursi ku. Lalu tiba-tiba Ega nongol di sampingku, padahal kelasnya berjarak 2 kelas dari kelas ku. Belom sempat saya nanya, beliau sudah berceloteh duluan.
“Eh, Ra, jadi pengen cari pacar nih. Anak kelas 1 imut-imut ya?”
Aku tersentak. Terus terang, saya merasa cemburu. Tanpa disadari, perasaan cinta telah ada dan berkembang dihatiku. Entah dari mana dan semenjak kapan cinta itu datang, tapi yang jelas, kebersamaan kami telah menumbuhkan benih-benih cinta. Tapi saya tak berani mengungkapkannya. Aku takut akan merrusak persahabatan kami.
“Ya itu sih terserah lo. Kan lo yang ngejalanin, lagian juga sering begitu kan sama cewek lain. Dan lagi, cewek kelas 1 banyak yang centil kan? Lo suka kan?” jawabku dengan nada sinis
“Jealous ya? Aku nggak suka sama cewek centil, yang penting baik, cantik, imut dan plus plus lainnya. Haha” ia tertawa sendiri, padahal menurutku nggak ada yang lucu. Kubalas saja dengan senyum nggak ikhlas. Tapi saya lega mendengarnya. Untung saja beliau punya selera yang tinggi. Walaupun beliau berulang kali ngomong mau cari pacar, tapi nggak pernah ada yang kena dihatinya. “Alhamdulillah.” batinku
**
Usai pulang sekolah, kami selalu bergegas pulang. Dan menyerupai biasa, saya menunggu Ega mengembil motornya di depan gerbang sekolah. Nggak di depan gerbang sekolah sih, tolong-menolong udah jauh dari gerbang. Sekitar 15 meter lah. Ngga sengaja saya lihat seorang gadis manis yang terlihat ketakutan karena digoda oleh beberapa brandalan yang nggak jelas. Tanpa pikir panjang, saya pun menghampirinya.
“Dek, maaf ya menunggu lama. Ayo pulang.” Aku pura-para saja sok kenal demi menyelamatkannya. Walaupun ia terlihat agak bingung, tapi ia mengiyakan saja tawaranku.
**
Setelah jauh dari berandalan itu,
“Terimakasih ya kak. Aku nggak tau deh, bila nggak ada kakak tadi. Aku Tita, kelas 1-B.” Ia melempar senyum manis padaku
“Iya dek, sama-sama. Aku Fara, 2-A4. Lain kali, bila menunggu di depan gerbang saja, atau disini. Memang disana banyak orang nggak jelas. Duluan ya dek.”
“Iya kak, hati-hati.”
Aku bergegas menuju Ega karena semenjak tadi ia terus membunyikan klaksonnya.
**
Beberapa hari kemudian, saya bertemu Tita lagi. Kami bertukar nomor HP, dan bahkan Tita pun mentraktirku makan di kantin. Kami menjadi semakin dekat. Ega pun tau hal itu.
**
Pagi ini, Ega terlihat sangat sumringah. Walaupun ia selalu bersemangat dalam segala hal, tapi ia lebih sumringah hari ini.
“Cewek yang kau tolong dulu namanya Tita kan?”
“Hemb.” Jawabku singkat. Sekarang saya jadi tau apa alasannya beliau sumringah banget hari ini. “Pantas saja, kemarin beliau memberondongku dengan pertanyaan tentangnya (Tita).” Batinku
“Dia manis ya?”
Aku hanya mengangguk
“Kamu punya nomor HP-nya kan? Boleh minta?” pintanya dengan wajah memelas
“Nih!” ku serahkan HP ku padanya. Aku pun nggak risau, karena beliau sering meminta nomor HP cewek lain, tapi pada kesannya nggak cocok.
**
Ega belakangan ini sangat sibuk. Jarang berangkat bareng, jarang nongol secara tiba-tiba, SMS ku nggak dibalas, telpon ku pun nggak diangkat. “Kemana dia? Kok hilang begitu saja? Apa sih maunya?!” teriakku kesal dalam hati
**
Suatu siang, beliau tiba-tiba nongol begitu saja dihadapanku ketika saya sedang mendengarkan musik di headset. Aku lega karena mampu melihatnya lagi.
“Sendirian Ra? Maaf ya, kita belakangan ini jarang berangkat bareng. SMS dan telpon mu juga nggak sempat saya jawab, saya belakangan ini sangat sibuk dan jarang buka HP.” Jelasnya panjang lebar
“Oh.” Jawabku singkat. Aku tahu beliau sedang bohong. Padahal jelas-jelas lagi pegang HP, tapi apa saya harus marah gitu? Memang saya siapanya dia?
“Kamu nggak khawatir bila saya nggak ada kabar?”
“Nggak tuh, biasa saja. Baru seminggu kan?”
“(hahaha). Bilang saja bila kamu..” belum saja beliau selesai menjawab, HP nya berdering. Wajahnya terlihat sumringah dan sedikit gugup ketika melihat nama penelpon di layar HP-nya. Aku jadi penasaran dan mematikan musik, tapi tetap memakai heatset. Kini saya bersiap menguping pembicaraannya. Dia menarik napas panjang sebelum menggeser pilihan layar accept pada HP touchscreen-nya. Suara lembut pun terdengar dari HP-nya. Suara yang ku kenal, bunyi Tita.
“Maaf kak, saya tadi lagi sibuk. Kakak tidak marah kan?”
“Oh, nggak kok.” Jawab Ega dengan senyum mengembang
Entah kenapa, saya menjadi duka nggak karuan. Aku malah duka melihatnya senang. Aku malah benci melihatnya tersenyum kepada orang lain. Aku marah, tapi tak tau harus bagaimana. saya ingin meng-ungkapkannya, tapi itu tidak mungkin. Aku menggenggam erat tanganku, berusaha menahan semuanya. Tapi air mata ini tak terelakkan lagi. Aku pun menengis sejadi-jadinya.
**
Suara Ega memecah tangisku.
“Ra, kau baik-baik saja kan?” tanya-nya dengan khawatir
“Eh, nggak pa-pa. Abis, lagunya duka banget.” elak ku
“(hahaha) Sejak kapan lo jadi melankolis gini?” ejeknya
Aku tidak menjawab dan masih berusaha untuk terlihat biasa saja.
“Sabtu besok, saya akan menyatakan cinta ke Tita. Kamu ikut ya? Aku pengen kau yang jadi saksinya.” Pintanya memelas
Aku tersenyum kecut, “Emangnya nikah apa? Pakai saksi segala, hehe.”
Aku berusaha membuat diriku lebih baik. Tapi saya tetap tidak bisa, dadaku masih saja sesak ketika tahu kenyataan ini.
**
Hari-hari semakin menyedihkan. Ega semakin gencar menceritakan Tita. Mau tidak mau, saya harus mendengarkan, walaupun dengan wajah bermuram durja. Hatiku menyerupai bara yang disulut api ketika melihatnya tersenyum kepada Tita. Kadang saya berpikir, apakah beliau sebodoh itu, sampai ia tidak menyadari perasaanku? Ingin rasanya saya berteriak di depannya perihal perasaan ku, tapi mana mungkin? Itu semua hanya tindakan konyol yang nggak perhatiin karena dan akibat.
**
Hari ini yaitu hari yang ditunggu oleh Ega. Tapi hari yang ingin sekali saya lewati selamanya. Mereka berjanji bertemu di cafe ini. Cafe yang berinterior sederhana, dengan lampu taman yang menghiasi setiap meja. Memang sangat romantis untuk menyatakan cinta. Aku sangat berharap Tita tidak mampu datang, atau bahkan sesuatu terjadi padanya sampai ia tak mungkin lagi muncul. “Ah, apa yang saya pikirkan? Aku memang mencintai Ega, tapi saya tidak mau menjadi monster untuk mendapatkannya!” celotehku dalam hati
**
Tak berapa lama, Tita pun muncul. Ia muncul dengan wajah yang berseri-seri sambil tersenyum manis pada Ega. Sadar bila suasananya semakin menyebalkan, saya pun pindah meja. Lalu, Tita duduk di depan Ega, di kursi yang sebelumnya saya duduki. Klimaksnya pun dimulai. Ega memegang tangan Tita, dan mengucapkan sesuatu. Meski saya tidak mampu mendengarnya dengan jelas, karena kawasan duduk kami lumayan jauh, tapi saya mampu menebaknya. “Aku suka kamu. Apa kau mau jadi pacarku?” kurang lebih itu yang Ega katakan. Sesaat kemudian, senyum manis dan anggukan Tita menyambut pertanyaan Ega.
Aku sudah tidak trauma lagi, tapi kenapa hati ini tidak mampu biasa saja melihat semua itu. Dan (lagi) saya menangis. Aku pergi meninggalkan mereka berdua. Aku benar-benar tak tahan. Aku benar-benar tidak mau menjadi saksi cinta mereka berdua. Aku, benar-benar tak bisa.
**
Aku berlari menjauh. Sejauh mungkin dari mereka. Aku ingin pergi ke kawasan dimana tidak ada mereka. Tak ada yang menyebut nama mereka. Dan tak ada satu pun perihal mereka.
Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Tubuhku lemas untuk menopang badan kecilku. Kesadaranku mulai hilang, dan tubuhku ambruk begitu saja. (to be continue)
Demikian cerpen sedih kali ini, tunggu update cerpen duka selanjutnya ... Sumber http://eposlima.blogspot.com