SELAMAT TINGGAL...
Cerpen Claudia Wirawan
Pagi ini, saya bangkit gak menyerupai hari biasanya. Mataku terbuka tanpa saya mendengar bunyi alarm handphoneku yang sebelumnya tak pernah nihil untuk membangunkanku tiap pagi dan kulihat handphone mungilku masih tergeletak di samping bantal. Namun kupikir itu gak jadi masalah, soalnya saya masih mampu bangkit sempurna waktu. Cepat-cepat kusingkapkan selimutku dan segera melipatnya dengan rapi dan akupun segera beranjak ke kamar mandi. Selesai mandi, saya segera mengenakan seragam putih abu-abu’ku dan setelah itu saya beranjak ke rak sepatu dan segera memakai sepatu hitam bertali lengkap dengan kaos kaki putih.
Setelah persiapanku selesai, akupun keluar dari kamar. Kuturuni belum dewasa tangga yang menghubungkan lantai atas dengan lantai bawah. “Aneh!!!”, pikirku dalam hati. Mulai kapan suasana rumahku jadi sunyi menyerupai dikala ini???
“maaa….”, panggilku memecah kesunyian rumahku. Namun tak ada balasan sama sekali. “Mungkin mama sedang pergi ke pasar.”, gumamku. Kucoba untuk memanggil papaku,mungkin papa belum berangkat ke kantor pikirku.
“paaa…papa…”,tak ada balasan yang kudengar. “Apakah semuanya sedang tidak ada di rumah?”,gumamku lagi.
Lalu saya pun duduk di dingklik meja makan dan kulihat tak ada satupun lembaran roti tawar dan selai coklat kesukaanku terletak di meja makan, tak menyerupai hari-hari biasanya. “ Apa mama terlalu sibuk hari ini sampe ‘ nggak nyiapin sarapan buat aku?”, gumamku yang masih heran dengan keadaan pagi ini. Namun sulit juga dipertanyakan, alasannya yaitu tak ada seorangpun yang mampu kucerca dengan aneka macam pertanyaan dariku. Segera kuambil tas dan map plastik bergambar micky mouse yang sudah kusiapkan dan kuletakkan di atas ranjangku. Kemudian saya siap untuk berangkat sekolah menyerupai biasanya, meski tanpa saya berpamitan kepada papa dan mama. Segera saya menuju ke garasi dan kilihat kendaraan beroda empat jazz putihku tak ada di tempat. Aku pun jadi bingung. “Kemana mobilku? Apa dipinjem papa? Tapi kok gak bilang ya?”, batinku dalam hati.Aaah, ya udah’lah, naek angkot juga bisa..
***
“Sopir angkot tu pada buta kali ya? Ada penumpang kok malah ngeloyor aja!! Udah panas-panas gini.”, gerutuku sambil mengusap keringat yang mulai membasahi keningku. ( Maklum gak pernah naek angkot,jeeng..!! hahaha..:-D). Namun tak berapa lama datang Tante Rina, tetanggaku, dan kusapa beliau, “ Tante”, sambil kubuka bibirku untuk menampilkan senyum manisku (Gula aja kalah manis...:-D). Namun tak kusangka, Tante Rina yang biasanya ramah sama aku, justru berbalik 180°. Tak ada balasan satu kata pun darinya, senyum pun tak ada. Justru ia sibuk dengan handphonenya. Sepertinya handphonenya masih baru, mungkin alasannya yaitu itu Tante Rina jadi super dingin sama aku. Tapi ya sudahlah, kumaklumi. Dan saya konsentrasi lagi untuk menyegat angkot dan mulai melambai-lambaikan tanganku dengan gemulai. Setelah tiga angkot yang lewat tanpa mempedulikanku, akupun mulai menyerah. “Sulit banget sih nyegat angkot?!?!..”, gumamku dengan dongkol sambil mengusap dahi yang sudah berkeringat sebesar jagung. Kemudian kulihat Tante Rina melambaikan tangan untuk menyegat angkot dan angkot pun berhenti. Sesaat kupikir, “kenapa ya? Apa sopir-sopir angkot ne pilih-pilih kalo cari penumpang? Giliran Tante Rina aja yang nyegat,langsung berenti. Boro-boro aku, malah gak ada yang mau berenti”. Tapi ya sudahlah, kalu begini saya juga dapet untungnya. Akupun naik ke dalam angkot yang berwana biru itu. Aku sengaja duduk di sisi erat pintu, alasannya yaitu saya suka mabok darat jika naik angkot. Hehehe. Kulihat Tante Rina duduk di sisi pojok angkot dengan masih asyik sama handphone barunya dan sekali-sekali juga telepon. Jadinya kutahan lisan ini untuk menyapanya hingga mengganggu aktivitasnya dengan handphone gres tersebut. Hingga hasilnya sampailah di depan sekolahku dan akupun turun.
Kelas sepi banget, hampir semua teman-teman satu kelas tidak masuk dan yang ada hanya Sella, Risa, Dian, dan Oza serta saya yang duduk sendiri di baris ketiga dari depan dan berjarak agak jauh dari yang lainnya. Sengaja saya duduk berjauhan dari mereka, soalnya saya memang gak terlalu suka dengan mereka yang sok kaya dan hobbynya yang cuma shopping..shopping…dan shopping.. Tapi ya udah deh, biarin aja... Bel awal pelajaran pun berbunyi dan kulihat dari jendela terlihat Pak Danu menuju ke kelas. Dan sesampainya di kelas..
“ Assalamualaikum, anak- anak. Pagi ini suasana kelas sangat sepi ya. Mungkin lagi berduka semua akan kepergian sahabat kalian.”, sapa Pak Danu sambil meletakkan map serta buku-buku yang dibawanya ke atas meja.
“ Berduka karna siapa, Pak?”, tanyaku penasaran. Namun tak ada jawaban. Pak Danu justru mengajak berdoa untuk mengawali pelajaran.
“ Sialan!! Kok gak ada yang bilang sih kalo sekarang ini ada mbolos massal?!?!?”, celotehku kesal sambil menyalin goresan pena Pak Danu di papan tulis. Di lain sisi, akupun juga memperhatikan Sella yang tak tahu kenapa hari ini terlihat murung ataupun sedih, begitupun dengan tiga sahabatnya. Akupun bertanya-tanya dalam hati, “kenapa tu belum dewasa shopaholic mukanya pada sedih gitu ya?”, lalu “ mau nanya, males aahhh..biarin deh, emang saya pikirin.” . Kembali saya konsen untuk menulis catatanku lagi.
***
Pulang sekolah akupun berniat untuk mampir ke rumah Rizal, pacarku yang sudah mendampingi saya kurang lebih 3 tahun. Usianya memang cukup renta dibandingkan aku, kita terpaut usia 6 tahun. Namun bagiku itu tak jadi masalah, yang terpenting yaitu ketulusan cintanya ke saya dan papa serta mama pun mendukung korelasi kami. Justru papa dan mama menyarankan semoga Rizal segera menikahiku dikala usiaku sudah 21 tahun, kira-kira masih 3 tahun lagi. Alasan yang sering dikemukakan yaitu takut Rizalnya jadi tambah tua.Hahahaha…:-D
Akupun naik angkot lagi menuju rumah Rizal. Rasanya panas banget di dalam angkot meskipun hanya saya saja penumpang yang tertinggal satu-satunya di dalam angkot. Segera kuambil satu buah buku tulis yang lumayan tipis dan mulai kukipas-kipaskan ke wajahku untuk mengatasi suhu panas yang ada di dalam angkot ini. “ Gara-gara mobilku pake ng’ilang segala sih, jadi panas-panasan gini deh”, omelku.
Di perjalanan, ada satu hal yang menarik perhatianku. Setelah angkot yang kutumpangi melewati kantor polisi yang tidak jauh dari rumah Rizal, terlihat ada kendaraan beroda empat yang kondisinya rusak banget plus peyok, “kayak’nya kendaraan beroda empat ini gres kecelakaan deh, parah banget tuh hingga rusak berat gitu”, pikirku. Namun setelah kuterawang lebih jelas, kendaraan beroda empat itu hampir sama dengan kendaraan beroda empat yang biasa kukendarai kemanapun saya pergi. Mobil itu berwarna dasar putih, sama menyerupai kepunyaanku. Hanya saja kendaraan beroda empat itu memiliki bercak-bercak coklat bekas cipratan lumpur dan ada sedikit bercak-bercak berwarna merah gelap hampir serupa dengan bekas darah yang telah mengering. Namun segera ku hilangkan pikiran itu alasannya yaitu saya sudah hingga di daerah tujuan.
Aku pun melompat dari angkot gila itu. “ Emang sopir angkot edaaan, gak lulus ujian SIM kali ya”, celotehku sambil membersihkan rok abu-abuku yang sedikit kotor gara-gara saya terjatuh pada dikala turun dari angkot. Habisnya saya sudah bilang buat berhenti, tapi sopirnya tetep aja kenceng, hasilnya saya lompat deh. Tapi ada untungnya juga, saya jadi gak usah bayar.Hehehehehe….:-)
Gerbang putih yang sudah kusam itu terkunci dengan gembok berukuran sedang. “Tumben-tumbennya ne pager digembok. Apa Rizal lagi pergi kali ya?!?! Tapi kok gak sms saya sih?”, bisikku dalam hati. Aah ya sudah, lebih baik saya pulang ke rumah. “Mungkin jalan kaki lebih baik”, pikirku sambil bebalik meninggalkan rumah Rizal yang terlihat sepi.
***
Langkah menuju rumah pun udah gak seberapa jauh, kira-kira delapan rumah lagilah saya mampu hingga di depan rumah. Kupercepat langkahku alasannya yaitu saya sudah tak tabah untuk hingga di rumah. Tubuh yang sudah penuh dengan keringat serta tenggorokan yang mulai membutuhkan cairan pun semakin tak tabah untuk segera melepas semua kostum pelajarku dan mengisi mulutku dengan air putih yang segar. Namun kecepatan langkahku semakin berkurang. Kulihat banyak kendaraan beroda empat dan sepeda motor yang terpakir tidak beraturan di pinggir jalan depan rumah.” Ada apa ya?”, tanyaku heran.
Entah kenapa hatiku serasa dag..dig..dug..saat saya melihat bendera putih berpalang hitam berkibar di atas pagar rumahku. Namun langkahku pun semakin cepat hingga kakiku telah melangkah masuk ke dalam pagar dan melihat banyak orang berkumpul di rumahku. “ Ada apa ini?”, tanyaku dengan perasaan yang tak karuan sambil melihat sekelilingku. Semua wajah hanya kaku tanpa ekspresi yang memperlihatkan senyum yang berarti. Justru ekspresi sedih yang hanya ditampakkan. Kulihat Rani dan hampir semua temanku ada di sisi samping halaman rumahku. Kuhampiri mereka. “ Ran, ada apa ini? Siapa yang meninggal?”, tak ada balasan sepatah katapun dari bibirnya yang tertutup rapat dengan wajah yang ditundukkan ke bawah.” Raaann..Kamu jawab dong..”,pintaku dengan mata yang mulai panas, entah alasannya yaitu apa.
Kupejamkan mataku sesaat untuk menetralkan keadaan mataku. Saat ku buka mataku kembali, kulihat Rizal duduk di sudut belakang halaman rumahku. Terlihat dari jauh bahwa ia sangat sedih. Kuhampiri Rizal dan semakin terang di mataku bagaimana keadaan Rizal dikala ini. Mata yang memiliki bulu mata yang lentik itupun mengeluarkan air matanya dengan deras hingga pipinya yang menggemaskan itu basah. Akupun merasa mataku kembali merasa panas alasannya yaitu melihat Rizal dengan keadaan menyerupai ini. Segera kuletakkan tas dan mapku disamping pot bunga bougenvil dan saya segera duduk disampingnya. “ Sayang, kenapa kau nangis?”, tanyaku dengan bunyi yang agak sedikit bergetar. Tak ada balasan sedikitpun dari bibirnya justru tangisnya yang semakin menderu.”Sayang..ada apa ini? Jawab dong, jangan bikin saya penasaran.”, tanyaku lagi dengan mata yang udah meneteskan air mata tanpa bias kubendung lagi dan ku sentuh tangan Rizal. Tapiii..
“ Tuhan, kenapa aku? Di mana ragaku? Kenapa saya gak bias menyetuhnya.”, rintihku sambil berdiri, kutinggalkan Rizal sendiri dan berjalan ke dalam rumah. Terlihat Papa sedang memeluk mama yang ternyata semenjak tadi sudah menangis dan sesekali kulihat juga jatuh pingsan. Kulihat disisi kiri ruang tamu dan ternyata ada sesosok badan kaku berselimutkan kain putih, gadis yang malang. Tak lain itu yaitu tubuhku. Ragaku telah mati dan jiwaku tak dapat lagi menghidupkannya. Kuhampiri ragaku dan tersungkur saya disisinya. “ Kini, saya tak lagi mampu membahagiakan papa sama mama. Aku tak lagi mampu mewujudkan mimpiku untuk menikah dan mendampingi Rizal serta menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku. Allah mengapa ini terjadi?”, tangisku membahana seluruh alam yang tak tahu harus kunamakan alam apa.
***
Teringat kejadian tadi pagi. Pagi-pagi benar sekitar pukul 04.00, saya bangkit dan segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah itu, segera ku berganti pakaian dengan t-shirt bergambar Donal Bebek, tokoh kartun kesayanganku dan celana selutut berwarna hitam. Tak lupa kukenakan sepatu olahragaku yang berwarna putih bervariasi dengan warna biru laut.
Tepat pukul 04.30, saya segera menuju garasi dan segera menghidupkan kendaraan beroda empat jazz putihku dan pergi ke rumah Rizal. Pagi ini, saya memang punya kesepakatan untuk berolahraga pagi ke alun-alun kota, menyerupai hari-hari biasanya. Tak tahu kenapa ada sesuatu yang aneh terjadi pada kendaraan beroda empat yang kukendarai ini. Dan setelah kusadari ternyata rem mobil’lu blong. Akupun panik, saya tak tahu harus bertindak apa?
“ Tuhan, tolong aku!!!!”, jeritku dalam kekalutanku di dalm mobil.
Namun dari arah berlawanan, kulihat sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi, akupun tak mampu menghindarinya. Akupun tertabrak. Entah bagaimana keadaanku selanjutnya. Yang kutahu, kini saya telah pergi untuk selama-lamanya. Meski saya telah tiada di dunia, tapi saya percaya. Aku akan tetap hidup di hati keluargaku dan di hati Rizal.
SELAMAT TINGGAL…
PROFIL PENULIS
Nama : Claudia Wirawan
Facebook : claudiabunga13@gmail.com
Demikian cerpen sedih kali ini, tunggu update selanjutnya !!! Sumber http://eposlima.blogspot.com
Cerpen Claudia Wirawan
Pagi ini, saya bangkit gak menyerupai hari biasanya. Mataku terbuka tanpa saya mendengar bunyi alarm handphoneku yang sebelumnya tak pernah nihil untuk membangunkanku tiap pagi dan kulihat handphone mungilku masih tergeletak di samping bantal. Namun kupikir itu gak jadi masalah, soalnya saya masih mampu bangkit sempurna waktu. Cepat-cepat kusingkapkan selimutku dan segera melipatnya dengan rapi dan akupun segera beranjak ke kamar mandi. Selesai mandi, saya segera mengenakan seragam putih abu-abu’ku dan setelah itu saya beranjak ke rak sepatu dan segera memakai sepatu hitam bertali lengkap dengan kaos kaki putih.
Setelah persiapanku selesai, akupun keluar dari kamar. Kuturuni belum dewasa tangga yang menghubungkan lantai atas dengan lantai bawah. “Aneh!!!”, pikirku dalam hati. Mulai kapan suasana rumahku jadi sunyi menyerupai dikala ini???
“maaa….”, panggilku memecah kesunyian rumahku. Namun tak ada balasan sama sekali. “Mungkin mama sedang pergi ke pasar.”, gumamku. Kucoba untuk memanggil papaku,mungkin papa belum berangkat ke kantor pikirku.
“paaa…papa…”,tak ada balasan yang kudengar. “Apakah semuanya sedang tidak ada di rumah?”,gumamku lagi.
Lalu saya pun duduk di dingklik meja makan dan kulihat tak ada satupun lembaran roti tawar dan selai coklat kesukaanku terletak di meja makan, tak menyerupai hari-hari biasanya. “ Apa mama terlalu sibuk hari ini sampe ‘ nggak nyiapin sarapan buat aku?”, gumamku yang masih heran dengan keadaan pagi ini. Namun sulit juga dipertanyakan, alasannya yaitu tak ada seorangpun yang mampu kucerca dengan aneka macam pertanyaan dariku. Segera kuambil tas dan map plastik bergambar micky mouse yang sudah kusiapkan dan kuletakkan di atas ranjangku. Kemudian saya siap untuk berangkat sekolah menyerupai biasanya, meski tanpa saya berpamitan kepada papa dan mama. Segera saya menuju ke garasi dan kilihat kendaraan beroda empat jazz putihku tak ada di tempat. Aku pun jadi bingung. “Kemana mobilku? Apa dipinjem papa? Tapi kok gak bilang ya?”, batinku dalam hati.Aaah, ya udah’lah, naek angkot juga bisa..
***
“Sopir angkot tu pada buta kali ya? Ada penumpang kok malah ngeloyor aja!! Udah panas-panas gini.”, gerutuku sambil mengusap keringat yang mulai membasahi keningku. ( Maklum gak pernah naek angkot,jeeng..!! hahaha..:-D). Namun tak berapa lama datang Tante Rina, tetanggaku, dan kusapa beliau, “ Tante”, sambil kubuka bibirku untuk menampilkan senyum manisku (Gula aja kalah manis...:-D). Namun tak kusangka, Tante Rina yang biasanya ramah sama aku, justru berbalik 180°. Tak ada balasan satu kata pun darinya, senyum pun tak ada. Justru ia sibuk dengan handphonenya. Sepertinya handphonenya masih baru, mungkin alasannya yaitu itu Tante Rina jadi super dingin sama aku. Tapi ya sudahlah, kumaklumi. Dan saya konsentrasi lagi untuk menyegat angkot dan mulai melambai-lambaikan tanganku dengan gemulai. Setelah tiga angkot yang lewat tanpa mempedulikanku, akupun mulai menyerah. “Sulit banget sih nyegat angkot?!?!..”, gumamku dengan dongkol sambil mengusap dahi yang sudah berkeringat sebesar jagung. Kemudian kulihat Tante Rina melambaikan tangan untuk menyegat angkot dan angkot pun berhenti. Sesaat kupikir, “kenapa ya? Apa sopir-sopir angkot ne pilih-pilih kalo cari penumpang? Giliran Tante Rina aja yang nyegat,langsung berenti. Boro-boro aku, malah gak ada yang mau berenti”. Tapi ya sudahlah, kalu begini saya juga dapet untungnya. Akupun naik ke dalam angkot yang berwana biru itu. Aku sengaja duduk di sisi erat pintu, alasannya yaitu saya suka mabok darat jika naik angkot. Hehehe. Kulihat Tante Rina duduk di sisi pojok angkot dengan masih asyik sama handphone barunya dan sekali-sekali juga telepon. Jadinya kutahan lisan ini untuk menyapanya hingga mengganggu aktivitasnya dengan handphone gres tersebut. Hingga hasilnya sampailah di depan sekolahku dan akupun turun.
Kelas sepi banget, hampir semua teman-teman satu kelas tidak masuk dan yang ada hanya Sella, Risa, Dian, dan Oza serta saya yang duduk sendiri di baris ketiga dari depan dan berjarak agak jauh dari yang lainnya. Sengaja saya duduk berjauhan dari mereka, soalnya saya memang gak terlalu suka dengan mereka yang sok kaya dan hobbynya yang cuma shopping..shopping…dan shopping.. Tapi ya udah deh, biarin aja... Bel awal pelajaran pun berbunyi dan kulihat dari jendela terlihat Pak Danu menuju ke kelas. Dan sesampainya di kelas..
“ Assalamualaikum, anak- anak. Pagi ini suasana kelas sangat sepi ya. Mungkin lagi berduka semua akan kepergian sahabat kalian.”, sapa Pak Danu sambil meletakkan map serta buku-buku yang dibawanya ke atas meja.
“ Berduka karna siapa, Pak?”, tanyaku penasaran. Namun tak ada jawaban. Pak Danu justru mengajak berdoa untuk mengawali pelajaran.
“ Sialan!! Kok gak ada yang bilang sih kalo sekarang ini ada mbolos massal?!?!?”, celotehku kesal sambil menyalin goresan pena Pak Danu di papan tulis. Di lain sisi, akupun juga memperhatikan Sella yang tak tahu kenapa hari ini terlihat murung ataupun sedih, begitupun dengan tiga sahabatnya. Akupun bertanya-tanya dalam hati, “kenapa tu belum dewasa shopaholic mukanya pada sedih gitu ya?”, lalu “ mau nanya, males aahhh..biarin deh, emang saya pikirin.” . Kembali saya konsen untuk menulis catatanku lagi.
***
Pulang sekolah akupun berniat untuk mampir ke rumah Rizal, pacarku yang sudah mendampingi saya kurang lebih 3 tahun. Usianya memang cukup renta dibandingkan aku, kita terpaut usia 6 tahun. Namun bagiku itu tak jadi masalah, yang terpenting yaitu ketulusan cintanya ke saya dan papa serta mama pun mendukung korelasi kami. Justru papa dan mama menyarankan semoga Rizal segera menikahiku dikala usiaku sudah 21 tahun, kira-kira masih 3 tahun lagi. Alasan yang sering dikemukakan yaitu takut Rizalnya jadi tambah tua.Hahahaha…:-D
Akupun naik angkot lagi menuju rumah Rizal. Rasanya panas banget di dalam angkot meskipun hanya saya saja penumpang yang tertinggal satu-satunya di dalam angkot. Segera kuambil satu buah buku tulis yang lumayan tipis dan mulai kukipas-kipaskan ke wajahku untuk mengatasi suhu panas yang ada di dalam angkot ini. “ Gara-gara mobilku pake ng’ilang segala sih, jadi panas-panasan gini deh”, omelku.
Di perjalanan, ada satu hal yang menarik perhatianku. Setelah angkot yang kutumpangi melewati kantor polisi yang tidak jauh dari rumah Rizal, terlihat ada kendaraan beroda empat yang kondisinya rusak banget plus peyok, “kayak’nya kendaraan beroda empat ini gres kecelakaan deh, parah banget tuh hingga rusak berat gitu”, pikirku. Namun setelah kuterawang lebih jelas, kendaraan beroda empat itu hampir sama dengan kendaraan beroda empat yang biasa kukendarai kemanapun saya pergi. Mobil itu berwarna dasar putih, sama menyerupai kepunyaanku. Hanya saja kendaraan beroda empat itu memiliki bercak-bercak coklat bekas cipratan lumpur dan ada sedikit bercak-bercak berwarna merah gelap hampir serupa dengan bekas darah yang telah mengering. Namun segera ku hilangkan pikiran itu alasannya yaitu saya sudah hingga di daerah tujuan.
Aku pun melompat dari angkot gila itu. “ Emang sopir angkot edaaan, gak lulus ujian SIM kali ya”, celotehku sambil membersihkan rok abu-abuku yang sedikit kotor gara-gara saya terjatuh pada dikala turun dari angkot. Habisnya saya sudah bilang buat berhenti, tapi sopirnya tetep aja kenceng, hasilnya saya lompat deh. Tapi ada untungnya juga, saya jadi gak usah bayar.Hehehehehe….:-)
Gerbang putih yang sudah kusam itu terkunci dengan gembok berukuran sedang. “Tumben-tumbennya ne pager digembok. Apa Rizal lagi pergi kali ya?!?! Tapi kok gak sms saya sih?”, bisikku dalam hati. Aah ya sudah, lebih baik saya pulang ke rumah. “Mungkin jalan kaki lebih baik”, pikirku sambil bebalik meninggalkan rumah Rizal yang terlihat sepi.
***
Langkah menuju rumah pun udah gak seberapa jauh, kira-kira delapan rumah lagilah saya mampu hingga di depan rumah. Kupercepat langkahku alasannya yaitu saya sudah tak tabah untuk hingga di rumah. Tubuh yang sudah penuh dengan keringat serta tenggorokan yang mulai membutuhkan cairan pun semakin tak tabah untuk segera melepas semua kostum pelajarku dan mengisi mulutku dengan air putih yang segar. Namun kecepatan langkahku semakin berkurang. Kulihat banyak kendaraan beroda empat dan sepeda motor yang terpakir tidak beraturan di pinggir jalan depan rumah.” Ada apa ya?”, tanyaku heran.
Entah kenapa hatiku serasa dag..dig..dug..saat saya melihat bendera putih berpalang hitam berkibar di atas pagar rumahku. Namun langkahku pun semakin cepat hingga kakiku telah melangkah masuk ke dalam pagar dan melihat banyak orang berkumpul di rumahku. “ Ada apa ini?”, tanyaku dengan perasaan yang tak karuan sambil melihat sekelilingku. Semua wajah hanya kaku tanpa ekspresi yang memperlihatkan senyum yang berarti. Justru ekspresi sedih yang hanya ditampakkan. Kulihat Rani dan hampir semua temanku ada di sisi samping halaman rumahku. Kuhampiri mereka. “ Ran, ada apa ini? Siapa yang meninggal?”, tak ada balasan sepatah katapun dari bibirnya yang tertutup rapat dengan wajah yang ditundukkan ke bawah.” Raaann..Kamu jawab dong..”,pintaku dengan mata yang mulai panas, entah alasannya yaitu apa.
Kupejamkan mataku sesaat untuk menetralkan keadaan mataku. Saat ku buka mataku kembali, kulihat Rizal duduk di sudut belakang halaman rumahku. Terlihat dari jauh bahwa ia sangat sedih. Kuhampiri Rizal dan semakin terang di mataku bagaimana keadaan Rizal dikala ini. Mata yang memiliki bulu mata yang lentik itupun mengeluarkan air matanya dengan deras hingga pipinya yang menggemaskan itu basah. Akupun merasa mataku kembali merasa panas alasannya yaitu melihat Rizal dengan keadaan menyerupai ini. Segera kuletakkan tas dan mapku disamping pot bunga bougenvil dan saya segera duduk disampingnya. “ Sayang, kenapa kau nangis?”, tanyaku dengan bunyi yang agak sedikit bergetar. Tak ada balasan sedikitpun dari bibirnya justru tangisnya yang semakin menderu.”Sayang..ada apa ini? Jawab dong, jangan bikin saya penasaran.”, tanyaku lagi dengan mata yang udah meneteskan air mata tanpa bias kubendung lagi dan ku sentuh tangan Rizal. Tapiii..
“ Tuhan, kenapa aku? Di mana ragaku? Kenapa saya gak bias menyetuhnya.”, rintihku sambil berdiri, kutinggalkan Rizal sendiri dan berjalan ke dalam rumah. Terlihat Papa sedang memeluk mama yang ternyata semenjak tadi sudah menangis dan sesekali kulihat juga jatuh pingsan. Kulihat disisi kiri ruang tamu dan ternyata ada sesosok badan kaku berselimutkan kain putih, gadis yang malang. Tak lain itu yaitu tubuhku. Ragaku telah mati dan jiwaku tak dapat lagi menghidupkannya. Kuhampiri ragaku dan tersungkur saya disisinya. “ Kini, saya tak lagi mampu membahagiakan papa sama mama. Aku tak lagi mampu mewujudkan mimpiku untuk menikah dan mendampingi Rizal serta menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku. Allah mengapa ini terjadi?”, tangisku membahana seluruh alam yang tak tahu harus kunamakan alam apa.
***
Teringat kejadian tadi pagi. Pagi-pagi benar sekitar pukul 04.00, saya bangkit dan segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah itu, segera ku berganti pakaian dengan t-shirt bergambar Donal Bebek, tokoh kartun kesayanganku dan celana selutut berwarna hitam. Tak lupa kukenakan sepatu olahragaku yang berwarna putih bervariasi dengan warna biru laut.
Tepat pukul 04.30, saya segera menuju garasi dan segera menghidupkan kendaraan beroda empat jazz putihku dan pergi ke rumah Rizal. Pagi ini, saya memang punya kesepakatan untuk berolahraga pagi ke alun-alun kota, menyerupai hari-hari biasanya. Tak tahu kenapa ada sesuatu yang aneh terjadi pada kendaraan beroda empat yang kukendarai ini. Dan setelah kusadari ternyata rem mobil’lu blong. Akupun panik, saya tak tahu harus bertindak apa?
“ Tuhan, tolong aku!!!!”, jeritku dalam kekalutanku di dalm mobil.
Namun dari arah berlawanan, kulihat sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi, akupun tak mampu menghindarinya. Akupun tertabrak. Entah bagaimana keadaanku selanjutnya. Yang kutahu, kini saya telah pergi untuk selama-lamanya. Meski saya telah tiada di dunia, tapi saya percaya. Aku akan tetap hidup di hati keluargaku dan di hati Rizal.
SELAMAT TINGGAL…
PROFIL PENULIS
Nama : Claudia Wirawan
Facebook : claudiabunga13@gmail.com
Demikian cerpen sedih kali ini, tunggu update selanjutnya !!! Sumber http://eposlima.blogspot.com