Skip to main content

Cerpen Persahabatan - Rinduku Kenanganku

Rinduku Kenanganku
oleh: Rica Okta Yunarweti

               Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat daun-daun kecil berguguran di pinggir danau dan menyilaukan pandanganku pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan sebuah kuas yang terukir namaku “Diana”. Yah, boleh dikatakan saya gemar melukis di tempat-tempat yang menurutku cantik dan tenang. Apalagi dengan seorang sahabat, membuat hidupku lebih berarti.
               Dari kejauhan terdengar alunan biola nan merdu semakin mendekati gendang telingaku. Alunan merdu itu membuatku semakin penasaran.
               “Ya sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja”
               Dengan rasa penasaran, saya sambil mengemas peralatan lukisku dan mengendarau sepeda menyusuri jalan komplek rumahku yang berbukit dan rindangnya pepohonan sepanjang jalan di bawah cahaya mentari yang mulai redup.

* * *
Pulang petang menjadi hal yang biasa bagi Lintang. Seorang gadis tomboy berambut hitam panjang yang selalu di kuncir ke atas. Dia selalu bermain basket di bawah rumah pohonnya, letaknya di samping danau yang airnya tenang, setelah pulang dari les. Dengan mengusap keringat di pipinya dia bergegas menyusuri komplek rumahnya dengan perasaantakut alasannya yaitu selalu pulang telat.
Pada waktu yang bersamaan, Diana meletakkan sepedanya ke garasi dan melihat Lintang.
               “Lintang,, Lintang,, dari mana saja kamu?
               “Aku mencarimu! Kata Diana
               “Aku main basket di daerah biasa, di bawah rumah pohon. Ma’af, udah buatmu khawatir.”
               “Entahlah…. Sudah dulu ya, amis banget nih.
               “Huuhh,, dasar cewek gadungan, saya dicuekin lagi…! Kesal Diana
               Dengan rasa kesal, gadis itu pun masuk ke kamar khayalannya. Meletakkan peralatan lukisnya di sudut ruangan akrab lemari beling yang penuh dengan boneka kucing dan patung kecil yang terbuat dari tanah liat. Ia selalu menatap lukisan sunset yang di belakang pintu kamarnya. Ketika melihat itu, ia mencicipi tenangnya dunia di laut lepas.

* * *
               Lintang segera membersihkan dirinya alasannya yaitu takut ibunya marah. Ibunya pun heran melihat tingkah anak semata wayangnya itu. Sifat keras kepala Lintang yang biasanya tampak, namun kala itu hati tomboynya bisa luluh dengan rasa bersalahnya. Ketika ia duduk di atas bangku yang tinggi sambil mengamati indahnya malam. Tiba-tiba ia mencicipi sakit pada badannya, perutnya nyeri dan nafasnya terasa sesak. Lintang resah dengan apa yang dia rasakan dan tiba-tiba ia terjatuh dari bangku tingginya, mencoba mengendalikan diri untuk bangun ke daerah tidur dan beristirahat.

* * *
               Teriknya mentari dan angin sepoi-sepoi yang dirasakan di bawah pohon nan rindang, membuat siswi SMA ini hanyut dalam omajinasi. Khayalan yang sungguh konkret membawa ia larut dalam impian.
               “Hai Diana, asyik bener nih melukisnya, lihat dong. Pasti lagi gambar saya kan? Kejut Lintang
               “Hmm,, ngapain juga saya gambar kamu. Seperti gak ada objek lain aja yang lebih bagus.. hahahha..
               Mereka begitu asyik bercanda tanpa menghiraukan sahabat yang lain di sekitarnya yang merasa kebisingan alasannya yaitu tingkah mereka yang sungguh beda dengan siswi lainnya. Dan belum dewasa yang lain sebaliknya sudah merasa biasa dengan sikap mereka itu.
               “Aku mau cerita..tapi……….(serius Lintang_
               “Cerita aja…ada apa? ( menatap Lintang kebingungan)
               Tiba-tiba, Lintang terjatuh. Kata-kata yang ingin ia bicarakan tidak bisa terucap. Kepanikan gadis seni ini sungguh luar biasa. Ketika di ruang UKS, Lintang terbaring tak berdaya. Diana berlari menyusuri kelas dan mencari telepon di sekolahnya. Untuk memberi kabar pada orang bau tanah Lintang dan membawanya ke rumah sakit..
               “Aku ada di mana? Ada apa denganku? ( sadar Lintang)
               “Kamu ada di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di taman belakang sekolah. Kamu nggak apa-apa kan? (khawatir Diana)
               “Aku sakit apa? Mana ayah?”
               “Dokter masih belum memberitahukan pasti penyakitmu. Ayahmu masih dalam perjalanan. Bersabarlah sebentar. Cepat sembuh ya,, biar sore ini kita bisa berguru bareng, kan kau udah kesepakatan kemaren.”
               “Mungkinkah penyakitku itu serius?””ahh, jangan berpiir gitu, kau pasti sembuh. Semangatlah, saya akan ada di sampingmu..”
               “Sudah, sekolah sana. Biar pintar, dan bisa membalap rangkingku. Hhaha…”
               “Iihh,, kamu. Calon ilmuan gini diejekin. Pasti dong saya bisa. Hhehe”
               “Ya deh,, buktikan ke saya ya nanti.”
               “Iya, pasti. Suatu ketika kita akn merayakan keberhasilan kita. Aku ke sekolah dulu ya.! Sebentar lagi, orangtuamu juga akan ke sini. Bye !!”
               “Bye.. Hati-hati ya Diana. Thank’s!"

* * *
               Jalan lorong sekolah tampak sepi, hanya ada seorang gadis berambut hitam pendek duduk di depan kelas musik sambil membawa biola dengan wajah yang tampak murung, Diana segera menghampirinya.
               “Hai, kenapa kau sendiri? Nggak masuk kelas?” Tanya Diana heran
               “Hmm, aku.. aku.. mau sendiri di sini aja.”
               “Jangan menyerupai anak kecil, ayolah masuk. Tapi, apa yang membuatmu sedih?” penuh heran
               “Tadi, ketika ada pemilihan bakat pemain biola, saya ada kesalahan memainkan nada, sampai-sampai alunannya nggak enak didengar. Mereka menertawakanku, padahal saya gres saja pindah ke sekolah ini jadi saya masih belum pintar memainkan alat musik menyerupai biola ini..”
               “Kamu sudah jago kok, kau bisa memainkan alat musik kesukaanku, dan aku… saya hanya bisa menggambarnya. Yang penting, tetap berjuang!! Daah..aku ke kelas dulu ya..”
               “Thengs.. siapa namamu?”
               “Diana!" Teriaknya.. (sambil berlari)
               Nafas yang terengah-engah membasahi wajah gadis lembut nan periang itu. Diana segera masuk ke kelas lukisnya yang sudah mulai belajar. Sambil menyapu keringatnya, teringat sahabatnya yang terbaring lemah.
               (Mungkinkah kami akan terus bersama?) dalam hatinya berkata.
               Ibu Tari masuk ke kelas tiba-tiba. Meihat Diana yang sedang melongo segera menghampirinya.
               “Diana, kenapa kamu?”
               “Ohh.. Ibu. nggak apa-apa bu.”
               “Kamu bohong, da duduk perkara ya? Tidak biasanya kau menyerupai ini!”
               “Ii..ia bu.”
               “Memangnya ada apa, sampai-sampai mengganggu pikiranmu menyerupai ini?’
               “Sahabatku, Lintang. Dia masuk rumah sakit dan sepertinya penyakitnya parah.”
               “Ohh,, Lintang ya. Gimana kalau sepulang sekolah kita menjenguknya” ajak bu Tari
               “Ibu mau menjenguknya? “
               “Iya,, nggak apa-apa kan?”
               “I..ya. nggak masalah.” Semangat Diana
               Ibu Tari yaitu guru yang paling disukai banyak siswa. Tak kadang banyak siswa yang curhat. Beliau memiliki jiwa keibuan, walaupun dia belum menikah. Beliau sangat perhatian dan mengerti perasaan orang lain.
               Ibu Tari memberi semangat Diana, membuat ia semangat pula bertemu Lintang. Ia menyelesaikan lukisan pemandangan dengan kuas kesayangannya. Kali ini, ia mendapat kebanggaan dari teman-teman dan bu Tari. Sampai-sampai lukisannya akan diikutkan dalam festival lukisan. Lukisannya menggambarkan eorang gadis berkerudung duduk di atas tebing tinggi yang dihantam ombak di tepi pantai. Lukisan itu pun dihiasi pantulan sinar matahari di penghujung hari. Gambarnya begitu nyata, dan membawa dalam khayalan. Diana dan bu Tari pun berangkat menjenguk Lintang.
Hanya mereka berdua yang masih berada di sekolah. Tak heran, bunyi mereka menggema ketika lewat lorong sekolah. Diana melepas pandangannya ke arah taman di samping lapangan basket. Ia sempat kaget ada seorang gadis duduk di atas cuilan pohon. Ketika ia hampiri, ternyata gadis biola itu.
               “Hai, belum pulang?" Sapa Diana
               “Hmmn. Belum Diana’
               “Ngapain kau sendiri di sini, Zy?” Sahut bu Tari
               “Lho, ibu kenal dia?” sahut Diana
               “Uta, ibu kan juga mengajar kelas musik. JadI ibu kenal Lizy”
               “Ohh, namamu Lizy ya?”
               “Iya,, ibu mau ke mana, kok sama Diana?”
               “Ibu sama Diana mau ke rumah sakit, jenguk sahabatnya Diana. Kamu mau ikut?”
               “Ya,, boleh. Ayo! Panasnya terik matahari sudah mulai mengkremasi kulit nih..” ajak Lizy
               “Hhhhaha….” Sambung Diana

* * *
               Diana meletakkan sekeranjang buah yang di bawanya. Kebetulan, kapten tim basket mereka juga jenguk Lintang. Rasa tak percaya meliputi kedua sahabat ini. Dalam keadaan yang tak mudah untuk mereka bersenda gurau. Padahal, rame kan, semuanya pada kumpul.
               “Bagaimana keadaanmu?” kejut Lizy
               “Ya, lumayan lah, agak mendingan.” Dengan bunyi datar sambil menunduk.
               Lintang mengangkat kepalanya, dan…. “Haahh,, Lizy!” teriaknya
               “Bagaimana bisa kau di sini Zy?”
               “Syukurlah. Tadi saya diajak bu Tari dan Diana. Dan ternyata, yang terbaring ketika ini yaitu sahabatku.”
               “Sebenarnya, kau sakit apa sih?” sambung Diana
               “a..ku, sakit Leukimia..”
               Semuanya tercengang, tak ada seorang pun yang berani memulai pembicaraan. Termasuk kapten basket Deva yang eksklusif terdiam ketika ia memainkan dasinya..
               “Kalian tak usah khawatir, di sisa umurku ini saya tak akan membuat kalian kecewa”
               “Jangan bilang begitu, yakinlah kau masih bisa bermain basket lagi..” sahut Deva
               “Yaa, teruslah bersemangat. Siapa yang tahu kan takdir Tuhan. Semoga kau cepat sembuh.” Sambung bu Tari
               ( Lintang terharu mengingat dan menyimpan momen ini. Ia memejamkan matanya hingga butiran air menetes di pipinya). Semuanya merasa iba padanya, khususnya Deva sahabat basketnya yang justru tidak mau kehilangan main lawannya walaupun Diana dan Lizy mencicipi halyang sama dengannya. Bu Tari memulai pembicaraan setelah semuanya membeku.
               “Hari mulai sore nih, kalian semua masih belum ada yang mau pulang?”
               “Belum bu, sebentar lagi.” Jawab mereka serempak.
               “Ya sudah, ibu pulang duluan. Cepat sembuh, ya Lintang. Jangan patah semangat, kasihan sahabat dan tim basketmu, pasti mengkhawatirkanmu. Asalamualaikum…” kata bu Tari
               “walaikumsallam.. Iya bu, makasih. Hati-hati ya bu..”
               Suasana berkembang menjadi hening kembali..
               “Aku tak ingin kehilanganmu, Lintang. Selalu ingat kata-kataku…" (bisik Diana)
               “Kamu-Sahabat_Terbaikku” mereka serempak.
               Hari ini terasa cukup singkat. Membawa mereka dalam canda tawa dan kerinduan. Diana dan Lizy segera pulang membawakabar perih dan memandang dengan rasa tak percaya. Diana teringat akan lukisannya. Di dalam hatinya dia ingin menjual lukisan itu untuk biaya Lintang. Ia merasa iba melihat orang bau tanah Lintang pergi bolak balik mencari uang.
               “Diana, ada apa denganmu?’ kejut Lintang
               “Tidak, kami harus pulang. Hari sudah mulai gelap nih”
               “ohh, ya. Besok mungkin saya sudah diperbolehkan pulang kalau kondisiku stabil”
               “Cepat sembuh, ya”……

* * *
Di depan lukisannya, Diana duduk termenung sambil menulis di buku diarynya.

Malam ku sepi..
Tak sanggup ku mengungkapkan
Air mata membendung di kelopak mataku..
Walaupun saya tertawa, tapi saya tetap mencicipi bila hati ini menangis melihat nya tersenyum.
Jika Engkau mengizinkan. Takkan ku biarkan ia terbelenggu…
Kamu_sahabat_Terbaikku

               Ia simpan buku diarynya di tumpukkan buku pelajarannya. Diana memikirkan solusi untuk membantu Lintang. Iameluangkan waktu untuk melukis sebanyak-banyaknya untuk di jual tanpa sepengetahuan Lintang. Lizy yang gres dikenalnya juga turut membantu. Tak heran, ibunya Diana tiap hari selalu menyiapkan keperluanlukisnya. Malam semakin larut, Lizy yang juga tampak terlihat lelah memutuskan untuk menginap. Mereka terbaring di daerah tidur, namun tak ada salah satu dari mereka yang tertidur.mereka sama-sama ingin merencanakan sesuatu….

3 hari kemudian…

               Pohon-pohon yang menjulang tinggi disinari matahari yang masuk dicelah-celah dedaunan yang rindang. Diana dan Lizy sengaja membawa Lintang ke danau. Diana menggelar tikar, menyusun makanan, peralatan lukis, dan daerah mereka duduk. Sedangkan Lizy berkemas-kemas di atas rumah pohon sambil memegang biola kesayangnnya. Namun dengan Lintang, ia justru merasa kebingungan dengan kedua temannya itu, sambil mengikik heran melihatnya.
               Diana memulai dengan memukul kedua kuasnya mengambarkan Lizy yang memainkan alunan biola yang merdu dengan lagu berjudul “semua perihal kita” sambil bernyanyi.

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan dongeng perihal kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Teringat di ketika kita tertawa bersama
Ceritakan semua perihal kita

Ada dongeng perihal saya dan dia
Dan kita bersama ketika duu kala
Ada dongeng perihal masa yang indah
Saat kitaberduka ketika kita tertawa

               Ketika lagunya selesai, tiba-tiba mereka semua terdiam sejenak. Suasana menyerupai di pemakaman, sepi, sunyi, hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Diana membuka pembicaraan.
               “Dan saya gres ingat. Dulu ketika saya melukis sendiri di sini saya kagum dan penasaran siapa yang memainkan biola ternyata… itu kamu, Lizy!”
               “Iya,, tengs. Aku sengaja memainkannya alasannya yaitu sejak saya tinggal di sini saya sangat kesepian. Dan ketika saya menemukan daerah cantik ini, setiap sore di waktu luangku, saya bermain biola. Kebetulan, saya melihat seorang gadis sedang melukis.”
               “waah.. kalian sungguh hebat! Aku juga kagum pada kalian, kalian sendiri yang membuat program ini dan kalian juga yang menerima kejutan. Ketika pertama kali bertemu Diana, saya juga kagum atas sikapmu yang selalu memperdulikan teman-temanmu. Jika saya pergi nanti jangan lupakan persahabatan kita ini ya..”
               “Ah, kalian ini selalu membuatku GR. Tapi makasih ya atas pujiannya.ku yakin, kalian juga mempunyai keistimewaan masing-masing. Dan kau Lintang, si cewek gadungan. Masa jiwa tomboymu yang tegar dipatahkan dengan adanya penyakit ini. Justru dengan ini kau bisa bertambah tegar yang tahan bantingan.. hahaha.
               “Emang saya bola, tahan bantingan. Hahaha! Ketus Lintang
               Diana tak ingin membuat hati teman-temannya terluka, ia selalu mencoba untuk tersenyum walau di hatinya sangat mengganjal. Tak lupa, Diana melukis simbol persahabatan mereka “LiDiZy”. Dari kejauhan Deva sedang bersepeda mengitari danau, melihat tingkah mereka yang terlihat ekspresif dan penuh canda tawa. Tapa berpikir panjang, ia menghampiri ketiga cewek itu sambil membawa gitarnya dan eksklusif duduk di tikar.
               “Eh, kamu. Udah minta izin dengan yang punya belum? Sembarangan aja duduk.” Judes Diana
               “Kok gitu, sih Diana. Nggak apa-apa kok.” Bela Lintang
               “Coba deh kalian lihat, dia mau ngehancurin program kita.” Sebel Diana
               “Eh kamu, bagai ratu aja. Lintang aja nggak keganggu. Sekali-sekali dong saya ikut gabung. Kan jarang-jarang bisa akrab sama pemuda popular di sekolah. hitung-hitung kesempatan buat kalian.”
               “Ya sudah, cukup. Kita nyanyi bareng lagi yuk….” Lerai Lizy
               “Eh, ganti dong simbolnya jadi…(berpikir sejenak) “LiDiZyVa” kan lebih keren!” sahut Deva
               “Ah, kau ini ada-ada saja. Semoga masih ada ruang untuk menulis namamu ya.. hahaha
               “hhuuhh…”
               Seharian mereka jalani untuk menghibur Lintang. Walaupun diantara mereka gres saling mengenal, tapi mereka menyerupai mempunyai kekuatan magnet. Hari-hari mereka selalu bersama.

* * *
               Waktu yang sempurna ditemukan Diana dan Lizy untuk menjalani rencana kedua mereka. Mereka sudah mengatur taktik supaya lukisan Diana laku terjual. Hampir 2 ahad penuh mereka meluangkan waktu untuk menjualnya. Uang yang terkumpul lumayan banyak, dan segera mereka berikan pada orang bau tanah Lintang tanpa sepengetahuan Lintang. Deva yang biasanya sibuk dengan tim basketnya, akibatnya ikut membantu juga.
               Di waktu yang bersamaan mereka datang ke rumah Lintang secara tersembunyi, mereka melihat Lintang kesakitan sambil memegang perutnya. Kekhawatiran mereka tak dapat dibendung. Mereka segera membawa Lintang ke rumah sakit dan memberitahukan orang tuanya. Mengingat Lintang yaitu anak semata wayang orang tuanya.
               Ternyata, penyakitnya bertambah parah. Sebenarnya, Lintang pulang dari rumah sakit alasannya yaitu keterbatasan biaya. Uang yang mereka dapatkan tidak cukup untuk membiayai semua pengobatan Lintang. Di tambah lagi ayah Lintang yang hanya memiliki tabungan seadanya, itu pun telah habis digunakan. Terpaksa, Lintang hanya bisa di opname tanpa harus membeli semua obat yang diperlukan.

* * *
               Setiap lorong sekolah kelas X ramai dipenuhi siswi yang mendengar kabar mengenai Lintang. Anak yang tomboy dan disenangi banyak orang.
               “Hai, Diana, Lizy. Gimana keadaan Lintang? Apa dia membaik? Kapan kalian mau menjenguknya lagi?” (pertanyaan runtun dari Deva)
               “Hello Deva, kalau nanya satu-satu dong. Kamu bukan mau wawancara kan?” jawab Diana
               “Emang, kami orang tuanya? Kami juga belum tahu keadaannya. Ayo kita jenguk aja sama-sama pulang sekolah” tegas Lizy
               Bunyi bel panjang bertanda telah berakhir jam pelajaran. Hujan yang tampak lebat, membuat para siswa harus menunggu hingga hujan reda. Tiba-tiba handphone Deva berbunyi, padahal peraturan sekolah dilarang membawa handphone, bunyi di seberang membawa gosip buruk.
               Hujan yang lebat tak mereka perdulikan. Mereka lari basah-basahan menuju rumah sakit sambil menangis terisak-isak. Mereka sangat khawatir dan tak percaya bahwa kabar itu memang benar nyata. Sahabat mereka Lintang meninggal dunia. Nyawanya tak dapat tertolong lagi alasannya yaitu penyakitnya semakin hari semakin parah. Orang bau tanah Lintang merasa kehilangan dan terpukul, namun semua yaitu kehendak-Nya. Orang bau tanah Lintang juga sangat berterima kasih pada Lizy, Diana, dan Deva. Menganggap mereka sebagai anaknya.

* * *

“Tak sempat ku berikan
Tak sempat ku sampaikan”
_LiDiZyVa_

Kalimat itu selalu melintas dipikiran Diana. Begitu pula Lizy dan Deva. Kerasa tak percaya, kehilangan, kerinduan, tersirat dibenak mereka. Mereka termenung di tepi danau sambil menyanyikan lagu “Semua Tentang Kita” yang biasa mereka nyanyikan.

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan dongeng perihal kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati

Belum sempat lagu itu dinyanyikan, butiran air mata membasahi di pipi ketiganya. Orang bau tanah Lintang tiba-tiba dating dan ikut duduk di antara mereka. Memberikan semangat pada Lizy, Diana dan Deva bahwa masa depan mereka juga menjadi kebanggaan orang bau tanah angkat mereka. Ibu Lintang tiba-tiba menyerahkan secarik kertas berwarna biru yang bergambar bunga. Tangan Deva bergetar ketika memegang kertas itu. Rasa penasaran membuat ia segera membuka dan membacanya menyerupai sedang lomba baca puisi.

Sahabatku impianku
Cita-citaku imajinasiku
Bukan hal yang salah memiliki mimpi
Bukan hal yang salah mempunyai tujuan
Tujuan menyerupai sinar
Kesana lah kita berlari
Dan untuk itulsh kita hidup
Tapi, terkadang sinarnya terlalu menyilaukan
Membuat kita sulit melihat
Sehingga tiba suatu ketika kita harus sejenak berhenti
Untuk menghindari sinar yang ada pada kita sendiri

               “Waahh, sungguh bersemangatnya dia. Aku piker alasannya yaitu fisiknya lemah, jiwanya akan goyah. Tapi saya salah. Hebat!! Puji Diana. Sambil melanjutkan lukisannya.
               “Iya..”sambung Lizy sambil meneteskan air mata.
               Suasana menjadi hening kembali. Kemudian Diana berteriak girang sambil meneteskan butiran air mata yang melintas di pipinya.
               “Lukisan dengan simbol “LiDiZyVa” akibatnya selesai”
               “Waahh..keren.!”
               Mereka menatap terpesona lukisan yang melambangkan persahabatan ini yang terlihat cantik alasannya yaitu di sekitar goresan pena itu ada gambar wajah mereka masing-masing. Di danau inilah sejarah persahabatanku. Dan daerah inilah saya dan sahabatku membuatkan walau hanya sekedar untuk mengenang Lintang.

SELESAI

RINDUKU KENANGANKU
oleh: Rica Okta Yunarweti

               Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat daun-daun kecil berguguran di pinggir danau dan menyilaukan pandanganku pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan sebuah kuas yang terukir namaku “Diana”. Yah, boleh dikatakan saya gemar melukis di tempat-tempat yang menurutku cantik dan tenang. Apalagi dengan seorang sahabat, membuat hidupku lebih berarti.
               Dari kejauhan terdengar alunan biola nan merdu semakin mendekati gendang telingaku. Alunan merdu itu membuatku semakin penasaran.
               “Ya sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja”
               Dengan rasa penasaran, saya sambil mengemas peralatan lukisku dan mengendarau sepeda menyusuri jalan komplek rumahku yang berbukit dan rindangnya pepohonan sepanjang jalan di bawah cahaya mentari yang mulai redup.

* * *
Pulang petang menjadi hal yang biasa bagi Lintang. Seorang gadis tomboy berambut hitam panjang yang selalu di kuncir ke atas. Dia selalu bermain basket di bawah rumah pohonnya, letaknya di samping danau yang airnya tenang, setelah pulang dari les. Dengan mengusap keringat di pipinya dia bergegas menyusuri komplek rumahnya dengan perasaantakut alasannya yaitu selalu pulang telat.
Pada waktu yang bersamaan, Diana meletakkan sepedanya ke garasi dan melihat Lintang.
               “Lintang,, Lintang,, dari mana saja kamu?
               “Aku mencarimu! Kata Diana
               “Aku main basket di daerah biasa, di bawah rumah pohon. Ma’af, udah buatmu khawatir.”
               “Entahlah…. Sudah dulu ya, amis banget nih.
               “Huuhh,, dasar cewek gadungan, saya dicuekin lagi…! Kesal Diana
               Dengan rasa kesal, gadis itu pun masuk ke kamar khayalannya. Meletakkan peralatan lukisnya di sudut ruangan akrab lemari beling yang penuh dengan boneka kucing dan patung kecil yang terbuat dari tanah liat. Ia selalu menatap lukisan sunset yang di belakang pintu kamarnya. Ketika melihat itu, ia mencicipi tenangnya dunia di laut lepas.

* * *
               Lintang segera membersihkan dirinya alasannya yaitu takut ibunya marah. Ibunya pun heran melihat tingkah anak semata wayangnya itu. Sifat keras kepala Lintang yang biasanya tampak, namun kala itu hati tomboynya bisa luluh dengan rasa bersalahnya. Ketika ia duduk di atas bangku yang tinggi sambil mengamati indahnya malam. Tiba-tiba ia mencicipi sakit pada badannya, perutnya nyeri dan nafasnya terasa sesak. Lintang resah dengan apa yang dia rasakan dan tiba-tiba ia terjatuh dari bangku tingginya, mencoba mengendalikan diri untuk bangun ke daerah tidur dan beristirahat.

* * *
               Teriknya mentari dan angin sepoi-sepoi yang dirasakan di bawah pohon nan rindang, membuat siswi SMA ini hanyut dalam omajinasi. Khayalan yang sungguh konkret membawa ia larut dalam impian.
               “Hai Diana, asyik bener nih melukisnya, lihat dong. Pasti lagi gambar saya kan? Kejut Lintang
               “Hmm,, ngapain juga saya gambar kamu. Seperti gak ada objek lain aja yang lebih bagus.. hahahha..
               Mereka begitu asyik bercanda tanpa menghiraukan sahabat yang lain di sekitarnya yang merasa kebisingan alasannya yaitu tingkah mereka yang sungguh beda dengan siswi lainnya. Dan belum dewasa yang lain sebaliknya sudah merasa biasa dengan sikap mereka itu.
               “Aku mau cerita..tapi……….(serius Lintang_
               “Cerita aja…ada apa? ( menatap Lintang kebingungan)
               Tiba-tiba, Lintang terjatuh. Kata-kata yang ingin ia bicarakan tidak bisa terucap. Kepanikan gadis seni ini sungguh luar biasa. Ketika di ruang UKS, Lintang terbaring tak berdaya. Diana berlari menyusuri kelas dan mencari telepon di sekolahnya. Untuk memberi kabar pada orang bau tanah Lintang dan membawanya ke rumah sakit..
               “Aku ada di mana? Ada apa denganku? ( sadar Lintang)
               “Kamu ada di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di taman belakang sekolah. Kamu nggak apa-apa kan? (khawatir Diana)
               “Aku sakit apa? Mana ayah?”
               “Dokter masih belum memberitahukan pasti penyakitmu. Ayahmu masih dalam perjalanan. Bersabarlah sebentar. Cepat sembuh ya,, biar sore ini kita bisa berguru bareng, kan kau udah kesepakatan kemaren.”
               “Mungkinkah penyakitku itu serius?””ahh, jangan berpiir gitu, kau pasti sembuh. Semangatlah, saya akan ada di sampingmu..”
               “Sudah, sekolah sana. Biar pintar, dan bisa membalap rangkingku. Hhaha…”
               “Iihh,, kamu. Calon ilmuan gini diejekin. Pasti dong saya bisa. Hhehe”
               “Ya deh,, buktikan ke saya ya nanti.”
               “Iya, pasti. Suatu ketika kita akn merayakan keberhasilan kita. Aku ke sekolah dulu ya.! Sebentar lagi, orangtuamu juga akan ke sini. Bye !!”
               “Bye.. Hati-hati ya Diana. Thank’s!"

* * *
               Jalan lorong sekolah tampak sepi, hanya ada seorang gadis berambut hitam pendek duduk di depan kelas musik sambil membawa biola dengan wajah yang tampak murung, Diana segera menghampirinya.
               “Hai, kenapa kau sendiri? Nggak masuk kelas?” Tanya Diana heran
               “Hmm, aku.. aku.. mau sendiri di sini aja.”
               “Jangan menyerupai anak kecil, ayolah masuk. Tapi, apa yang membuatmu sedih?” penuh heran
               “Tadi, ketika ada pemilihan bakat pemain biola, saya ada kesalahan memainkan nada, sampai-sampai alunannya nggak enak didengar. Mereka menertawakanku, padahal saya gres saja pindah ke sekolah ini jadi saya masih belum pintar memainkan alat musik menyerupai biola ini..”
               “Kamu sudah jago kok, kau bisa memainkan alat musik kesukaanku, dan aku… saya hanya bisa menggambarnya. Yang penting, tetap berjuang!! Daah..aku ke kelas dulu ya..”
               “Thengs.. siapa namamu?”
               “Diana!" Teriaknya.. (sambil berlari)
               Nafas yang terengah-engah membasahi wajah gadis lembut nan periang itu. Diana segera masuk ke kelas lukisnya yang sudah mulai belajar. Sambil menyapu keringatnya, teringat sahabatnya yang terbaring lemah.
               (Mungkinkah kami akan terus bersama?) dalam hatinya berkata.
               Ibu Tari masuk ke kelas tiba-tiba. Meihat Diana yang sedang melongo segera menghampirinya.
               “Diana, kenapa kamu?”
               “Ohh.. Ibu. nggak apa-apa bu.”
               “Kamu bohong, da duduk perkara ya? Tidak biasanya kau menyerupai ini!”
               “Ii..ia bu.”
               “Memangnya ada apa, sampai-sampai mengganggu pikiranmu menyerupai ini?’
               “Sahabatku, Lintang. Dia masuk rumah sakit dan sepertinya penyakitnya parah.”
               “Ohh,, Lintang ya. Gimana kalau sepulang sekolah kita menjenguknya” ajak bu Tari
               “Ibu mau menjenguknya? “
               “Iya,, nggak apa-apa kan?”
               “I..ya. nggak masalah.” Semangat Diana
               Ibu Tari yaitu guru yang paling disukai banyak siswa. Tak kadang banyak siswa yang curhat. Beliau memiliki jiwa keibuan, walaupun dia belum menikah. Beliau sangat perhatian dan mengerti perasaan orang lain.
               Ibu Tari memberi semangat Diana, membuat ia semangat pula bertemu Lintang. Ia menyelesaikan lukisan pemandangan dengan kuas kesayangannya. Kali ini, ia mendapat kebanggaan dari teman-teman dan bu Tari. Sampai-sampai lukisannya akan diikutkan dalam festival lukisan. Lukisannya menggambarkan eorang gadis berkerudung duduk di atas tebing tinggi yang dihantam ombak di tepi pantai. Lukisan itu pun dihiasi pantulan sinar matahari di penghujung hari. Gambarnya begitu nyata, dan membawa dalam khayalan. Diana dan bu Tari pun berangkat menjenguk Lintang.
Hanya mereka berdua yang masih berada di sekolah. Tak heran, bunyi mereka menggema ketika lewat lorong sekolah. Diana melepas pandangannya ke arah taman di samping lapangan basket. Ia sempat kaget ada seorang gadis duduk di atas cuilan pohon. Ketika ia hampiri, ternyata gadis biola itu.
               “Hai, belum pulang?" Sapa Diana
               “Hmmn. Belum Diana’
               “Ngapain kau sendiri di sini, Zy?” Sahut bu Tari
               “Lho, ibu kenal dia?” sahut Diana
               “Uta, ibu kan juga mengajar kelas musik. JadI ibu kenal Lizy”
               “Ohh, namamu Lizy ya?”
               “Iya,, ibu mau ke mana, kok sama Diana?”
               “Ibu sama Diana mau ke rumah sakit, jenguk sahabatnya Diana. Kamu mau ikut?”
               “Ya,, boleh. Ayo! Panasnya terik matahari sudah mulai mengkremasi kulit nih..” ajak Lizy
               “Hhhhaha….” Sambung Diana

* * *
               Diana meletakkan sekeranjang buah yang di bawanya. Kebetulan, kapten tim basket mereka juga jenguk Lintang. Rasa tak percaya meliputi kedua sahabat ini. Dalam keadaan yang tak mudah untuk mereka bersenda gurau. Padahal, rame kan, semuanya pada kumpul.
               “Bagaimana keadaanmu?” kejut Lizy
               “Ya, lumayan lah, agak mendingan.” Dengan bunyi datar sambil menunduk.
               Lintang mengangkat kepalanya, dan…. “Haahh,, Lizy!” teriaknya
               “Bagaimana bisa kau di sini Zy?”
               “Syukurlah. Tadi saya diajak bu Tari dan Diana. Dan ternyata, yang terbaring ketika ini yaitu sahabatku.”
               “Sebenarnya, kau sakit apa sih?” sambung Diana
               “a..ku, sakit Leukimia..”
               Semuanya tercengang, tak ada seorang pun yang berani memulai pembicaraan. Termasuk kapten basket Deva yang eksklusif terdiam ketika ia memainkan dasinya..
               “Kalian tak usah khawatir, di sisa umurku ini saya tak akan membuat kalian kecewa”
               “Jangan bilang begitu, yakinlah kau masih bisa bermain basket lagi..” sahut Deva
               “Yaa, teruslah bersemangat. Siapa yang tahu kan takdir Tuhan. Semoga kau cepat sembuh.” Sambung bu Tari
               ( Lintang terharu mengingat dan menyimpan momen ini. Ia memejamkan matanya hingga butiran air menetes di pipinya). Semuanya merasa iba padanya, khususnya Deva sahabat basketnya yang justru tidak mau kehilangan main lawannya walaupun Diana dan Lizy mencicipi halyang sama dengannya. Bu Tari memulai pembicaraan setelah semuanya membeku.
               “Hari mulai sore nih, kalian semua masih belum ada yang mau pulang?”
               “Belum bu, sebentar lagi.” Jawab mereka serempak.
               “Ya sudah, ibu pulang duluan. Cepat sembuh, ya Lintang. Jangan patah semangat, kasihan sahabat dan tim basketmu, pasti mengkhawatirkanmu. Asalamualaikum…” kata bu Tari
               “walaikumsallam.. Iya bu, makasih. Hati-hati ya bu..”
               Suasana berkembang menjadi hening kembali..
               “Aku tak ingin kehilanganmu, Lintang. Selalu ingat kata-kataku…" (bisik Diana)
               “Kamu-Sahabat_Terbaikku” mereka serempak.
               Hari ini terasa cukup singkat. Membawa mereka dalam canda tawa dan kerinduan. Diana dan Lizy segera pulang membawakabar perih dan memandang dengan rasa tak percaya. Diana teringat akan lukisannya. Di dalam hatinya dia ingin menjual lukisan itu untuk biaya Lintang. Ia merasa iba melihat orang bau tanah Lintang pergi bolak balik mencari uang.
               “Diana, ada apa denganmu?’ kejut Lintang
               “Tidak, kami harus pulang. Hari sudah mulai gelap nih”
               “ohh, ya. Besok mungkin saya sudah diperbolehkan pulang kalau kondisiku stabil”
               “Cepat sembuh, ya”……

* * *
Di depan lukisannya, Diana duduk termenung sambil menulis di buku diarynya.

Malam ku sepi..
Tak sanggup ku mengungkapkan
Air mata membendung di kelopak mataku..
Walaupun saya tertawa, tapi saya tetap mencicipi bila hati ini menangis melihat nya tersenyum.
Jika Engkau mengizinkan. Takkan ku biarkan ia terbelenggu…
Kamu_sahabat_Terbaikku

               Ia simpan buku diarynya di tumpukkan buku pelajarannya. Diana memikirkan solusi untuk membantu Lintang. Iameluangkan waktu untuk melukis sebanyak-banyaknya untuk di jual tanpa sepengetahuan Lintang. Lizy yang gres dikenalnya juga turut membantu. Tak heran, ibunya Diana tiap hari selalu menyiapkan keperluanlukisnya. Malam semakin larut, Lizy yang juga tampak terlihat lelah memutuskan untuk menginap. Mereka terbaring di daerah tidur, namun tak ada salah satu dari mereka yang tertidur.mereka sama-sama ingin merencanakan sesuatu….

3 hari kemudian…

               Pohon-pohon yang menjulang tinggi disinari matahari yang masuk dicelah-celah dedaunan yang rindang. Diana dan Lizy sengaja membawa Lintang ke danau. Diana menggelar tikar, menyusun makanan, peralatan lukis, dan daerah mereka duduk. Sedangkan Lizy berkemas-kemas di atas rumah pohon sambil memegang biola kesayangnnya. Namun dengan Lintang, ia justru merasa kebingungan dengan kedua temannya itu, sambil mengikik heran melihatnya.
               Diana memulai dengan memukul kedua kuasnya mengambarkan Lizy yang memainkan alunan biola yang merdu dengan lagu berjudul “semua perihal kita” sambil bernyanyi.

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan dongeng perihal kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Teringat di ketika kita tertawa bersama
Ceritakan semua perihal kita

Ada dongeng perihal saya dan dia
Dan kita bersama ketika duu kala
Ada dongeng perihal masa yang indah
Saat kitaberduka ketika kita tertawa

               Ketika lagunya selesai, tiba-tiba mereka semua terdiam sejenak. Suasana menyerupai di pemakaman, sepi, sunyi, hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Diana membuka pembicaraan.
               “Dan saya gres ingat. Dulu ketika saya melukis sendiri di sini saya kagum dan penasaran siapa yang memainkan biola ternyata… itu kamu, Lizy!”
               “Iya,, tengs. Aku sengaja memainkannya alasannya yaitu sejak saya tinggal di sini saya sangat kesepian. Dan ketika saya menemukan daerah cantik ini, setiap sore di waktu luangku, saya bermain biola. Kebetulan, saya melihat seorang gadis sedang melukis.”
               “waah.. kalian sungguh hebat! Aku juga kagum pada kalian, kalian sendiri yang membuat program ini dan kalian juga yang menerima kejutan. Ketika pertama kali bertemu Diana, saya juga kagum atas sikapmu yang selalu memperdulikan teman-temanmu. Jika saya pergi nanti jangan lupakan persahabatan kita ini ya..”
               “Ah, kalian ini selalu membuatku GR. Tapi makasih ya atas pujiannya.ku yakin, kalian juga mempunyai keistimewaan masing-masing. Dan kau Lintang, si cewek gadungan. Masa jiwa tomboymu yang tegar dipatahkan dengan adanya penyakit ini. Justru dengan ini kau bisa bertambah tegar yang tahan bantingan.. hahaha.
               “Emang saya bola, tahan bantingan. Hahaha! Ketus Lintang
               Diana tak ingin membuat hati teman-temannya terluka, ia selalu mencoba untuk tersenyum walau di hatinya sangat mengganjal. Tak lupa, Diana melukis simbol persahabatan mereka “LiDiZy”. Dari kejauhan Deva sedang bersepeda mengitari danau, melihat tingkah mereka yang terlihat ekspresif dan penuh canda tawa. Tapa berpikir panjang, ia menghampiri ketiga cewek itu sambil membawa gitarnya dan eksklusif duduk di tikar.
               “Eh, kamu. Udah minta izin dengan yang punya belum? Sembarangan aja duduk.” Judes Diana
               “Kok gitu, sih Diana. Nggak apa-apa kok.” Bela Lintang
               “Coba deh kalian lihat, dia mau ngehancurin program kita.” Sebel Diana
               “Eh kamu, bagai ratu aja. Lintang aja nggak keganggu. Sekali-sekali dong saya ikut gabung. Kan jarang-jarang bisa akrab sama pemuda popular di sekolah. hitung-hitung kesempatan buat kalian.”
               “Ya sudah, cukup. Kita nyanyi bareng lagi yuk….” Lerai Lizy
               “Eh, ganti dong simbolnya jadi…(berpikir sejenak) “LiDiZyVa” kan lebih keren!” sahut Deva
               “Ah, kau ini ada-ada saja. Semoga masih ada ruang untuk menulis namamu ya.. hahaha
               “hhuuhh…”
               Seharian mereka jalani untuk menghibur Lintang. Walaupun diantara mereka gres saling mengenal, tapi mereka menyerupai mempunyai kekuatan magnet. Hari-hari mereka selalu bersama.

* * *
               Waktu yang sempurna ditemukan Diana dan Lizy untuk menjalani rencana kedua mereka. Mereka sudah mengatur taktik supaya lukisan Diana laku terjual. Hampir 2 ahad penuh mereka meluangkan waktu untuk menjualnya. Uang yang terkumpul lumayan banyak, dan segera mereka berikan pada orang bau tanah Lintang tanpa sepengetahuan Lintang. Deva yang biasanya sibuk dengan tim basketnya, akibatnya ikut membantu juga.
               Di waktu yang bersamaan mereka datang ke rumah Lintang secara tersembunyi, mereka melihat Lintang kesakitan sambil memegang perutnya. Kekhawatiran mereka tak dapat dibendung. Mereka segera membawa Lintang ke rumah sakit dan memberitahukan orang tuanya. Mengingat Lintang yaitu anak semata wayang orang tuanya.
               Ternyata, penyakitnya bertambah parah. Sebenarnya, Lintang pulang dari rumah sakit alasannya yaitu keterbatasan biaya. Uang yang mereka dapatkan tidak cukup untuk membiayai semua pengobatan Lintang. Di tambah lagi ayah Lintang yang hanya memiliki tabungan seadanya, itu pun telah habis digunakan. Terpaksa, Lintang hanya bisa di opname tanpa harus membeli semua obat yang diperlukan.

* * *
               Setiap lorong sekolah kelas X ramai dipenuhi siswi yang mendengar kabar mengenai Lintang. Anak yang tomboy dan disenangi banyak orang.
               “Hai, Diana, Lizy. Gimana keadaan Lintang? Apa dia membaik? Kapan kalian mau menjenguknya lagi?” (pertanyaan runtun dari Deva)
               “Hello Deva, kalau nanya satu-satu dong. Kamu bukan mau wawancara kan?” jawab Diana
               “Emang, kami orang tuanya? Kami juga belum tahu keadaannya. Ayo kita jenguk aja sama-sama pulang sekolah” tegas Lizy
               Bunyi bel panjang bertanda telah berakhir jam pelajaran. Hujan yang tampak lebat, membuat para siswa harus menunggu hingga hujan reda. Tiba-tiba handphone Deva berbunyi, padahal peraturan sekolah dilarang membawa handphone, bunyi di seberang membawa gosip buruk.
               Hujan yang lebat tak mereka perdulikan. Mereka lari basah-basahan menuju rumah sakit sambil menangis terisak-isak. Mereka sangat khawatir dan tak percaya bahwa kabar itu memang benar nyata. Sahabat mereka Lintang meninggal dunia. Nyawanya tak dapat tertolong lagi alasannya yaitu penyakitnya semakin hari semakin parah. Orang bau tanah Lintang merasa kehilangan dan terpukul, namun semua yaitu kehendak-Nya. Orang bau tanah Lintang juga sangat berterima kasih pada Lizy, Diana, dan Deva. Menganggap mereka sebagai anaknya.

* * *

“Tak sempat ku berikan
Tak sempat ku sampaikan”
_LiDiZyVa_

Kalimat itu selalu melintas dipikiran Diana. Begitu pula Lizy dan Deva. Kerasa tak percaya, kehilangan, kerinduan, tersirat dibenak mereka. Mereka termenung di tepi danau sambil menyanyikan lagu “Semua Tentang Kita” yang biasa mereka nyanyikan.

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan dongeng perihal kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati

Belum sempat lagu itu dinyanyikan, butiran air mata membasahi di pipi ketiganya. Orang bau tanah Lintang tiba-tiba dating dan ikut duduk di antara mereka. Memberikan semangat pada Lizy, Diana dan Deva bahwa masa depan mereka juga menjadi kebanggaan orang bau tanah angkat mereka. Ibu Lintang tiba-tiba menyerahkan secarik kertas berwarna biru yang bergambar bunga. Tangan Deva bergetar ketika memegang kertas itu. Rasa penasaran membuat ia segera membuka dan membacanya menyerupai sedang lomba baca puisi.

Sahabatku impianku
Cita-citaku imajinasiku
Bukan hal yang salah memiliki mimpi
Bukan hal yang salah mempunyai tujuan
Tujuan menyerupai sinar
Kesana lah kita berlari
Dan untuk itulsh kita hidup
Tapi, terkadang sinarnya terlalu menyilaukan
Membuat kita sulit melihat
Sehingga tiba suatu ketika kita harus sejenak berhenti
Untuk menghindari sinar yang ada pada kita sendiri

               “Waahh, sungguh bersemangatnya dia. Aku piker alasannya yaitu fisiknya lemah, jiwanya akan goyah. Tapi saya salah. Hebat!! Puji Diana. Sambil melanjutkan lukisannya.
               “Iya..”sambung Lizy sambil meneteskan air mata.
               Suasana menjadi hening kembali. Kemudian Diana berteriak girang sambil meneteskan butiran air mata yang melintas di pipinya.
               “Lukisan dengan simbol “LiDiZyVa” akibatnya selesai”
               “Waahh..keren.!”
               Mereka menatap terpesona lukisan yang melambangkan persahabatan ini yang terlihat cantik alasannya yaitu di sekitar goresan pena itu ada gambar wajah mereka masing-masing. Di danau inilah sejarah persahabatanku. Dan daerah inilah saya dan sahabatku membuatkan walau hanya sekedar untuk mengenang Lintang.

SELESAI

Demikian cerpen persahabatan yang bisa di bagikan kali ini, semoga bermanfaat.
Sumber http://eposlima.blogspot.com

Popular posts from this blog

Rumah Termahal 5 Gadget dunia Berdasarkan

5 Termahal Home Based dunia Gadget – Homewares adalah alat untuk mempercantik kamar, tetapi juga berfungsi sebagai media dengan fungsi tertentu dari furnitur itu sendiri. Namun ruangan kami merasa kesepian tanpa kehadiran beberapa gadget untuk mengubah gadget atmosphere.Electronic seperti televisi, home theater, sound system adalah beberapa gadget yang berfungsi sebagai media Rumah Termahal 5 Gadget dunia Berdasarkan

Ungkapan Cinta Di 17 September Mimpi Cinta

Mimpi memang selalu menghibur, menakutkan, menyedihkan atau biasa saja. Begitu juga ketika saya bermimpi tentangmu di siang bolong. Ya, saya memimpikan kau di siang bolong. Aku bermimpi setelah kira-kira beberapa hari saya memberimu pertanyaan via Facebook, “Biasa tidak mengamalkan ilmunya?” Mimpi itu hadir menemani tidur siangku. Mimpi yang membuatku sedih. Apakah mimpi perihal saya pun hadir dalam tidurmu? Aku mengharapkan itu terjadi pada tidurmu walau hanya satu kali dalam hidupmu. Waktu seakan terulang kembali jika sudah masuk dalam dunia mimpi. Aku bermimpi mengenai kita yang terkumpul kembali dalam dunia sekolah. Namun dunia sekolah yang berbeda. Dalam memimpikan dirimu, saya memendam rasa padamu. Teringat kembali reaksi perasaanku waktu masih sekolah dulu. Ya, ada bisikan perasaan khusus padamu waktu masih sekolah walau kau pun tidak tahu. Mimpi bersamamu itu bermain diantara tiga daerah sekaligus. Ibaratnya kita sedang bermain teknik hilang-hilangan yang begitu cepat berga

Tanyakan Kata Kata Cinta Anak IPA omong kosong Lucu asmara

Kata-kata cinta anak IPA pada dasarnya sama dengan kata-kata cinta pada umumnya. Meskipun lain, itu bukan karena sesuatu yang dimaksudkan untuk terjadi. Tapi ketika sekelompok anak-anak yang sering menemukan diri mereka lebih cerdas daripada yang lain, sehingga IPA adalah beberapa anak yang tidak bermoral yang membuat kata-kata cinta khusus untuk anak-anak IPA. Hal ini karena anak-anak IPA terbiasa untuk merencanakan sesuatu. Tidak seperti anak-anak lain, misalnya anak-anak ips atau bahasa, mengatakan bahwa mereka apa yang Anda inginkan tanpa perlu merencanakan secara serius. Tapi apa anak-anak ini dilakukan untuk hal-hal yang hanya ekspresif, untuk urusan anak-anak lain yang bukan dari kelompok IPA juga masih serius berencana. Nah, khusus untuk anak-anak IPA meskipun Berikut adalah anak-anak atau bahasa apapun ips beberapa kata-kata cinta anak IPA , bahan referensi bisa digunakan, bisa digunakan, jika Anda ingin seseorang untuk merekam. Kata-kata, sedikit lebih subjek ofensif