Skip to main content

Cerita Cinta - Dua Kisah, Satu Sofa

Masih saja lesu. Naira, seorang gadis dari ujung desa yang berada dalam garis kemiskinan. Bukan itu saja, bahkan hidup masa lalunya lebih tragis dari sekedar miskin. Ia dalam persahabatan denganku, seorang yang terpandang dan kaya-raya. Ia nampak lesu berada dalam ruangan megah. Nampak sekali bait-bait kalimat diam dalam kegamangan perasaan. Mungkin Naira menunggu waktu yang sempurna untuk berucap.


"Huuuuh...," terdengar desah gelisah dari Naira yang sedang duduk dalam satu sofa denganku. Nafas seakan terasa sesak melihat keadaan ini. Aku menghela nafas sejenak sekejar untuk mengalirkan pedoman darah yang macet yang membuat pikiran pun mumet.

Aku memang salah, mengatakan cinta di ketika sebatas cinta persahabatan. Karena memang saya ingin tetap dekat dengan Naira. Cintaku memang tulus, memandangnya sebagai sahabat. Namun tidak disangka, kenapa ia hingga menceritakan segala masa lalunya? Aku hingga kaget, kepala pening. Aku tidak sempat mempercayai masa lalu Naira. Aku menangis tertahan dan Naira menangis hingga tidak bisa tergendung: tangisnya pecah hingga matanya merah lebam. Ia pun merasa bersalah telah membongkar aibnya. Entah apa maksud membongkar aibnya ini.

Aku menengadah ke atas langit. Menengadah ke atas langit mungkin sedikit bisa membantu kejenuhan kebersamaan ini. Aku menginginkan dorongan dari sang waktu biar Naira mau berbicara. Aku tidak kuasa melihatnya lesu bersamaku di rumah gedong ini. Seolah rumah ini ialah rumah yang tidak layak huni menyerupai halnya rumah orang miskin yang dianggap tidak layak huni untuk orang kaya.

Bersama sang waktu, Naira melepaskan kebisuan, “Bagaimana Gus Nefis melihat kehadiranku di sini? Dalam kearifan hati, Gus Nefis tahu hamparan keluasan arti tanyaku padamu. Persahabatan bukanlah mainan saja, ialah susila yang terpercaya yang menyelimutinya.”

Lalu Naira menyarankan biar saya menghayati ucapan pertanyaannya itu walau saya sudah paham apa yang ia katakan. Aku dalam jawab biar lebih meyakinkan lagi mengenai kekerabatan yang bagai bumi dan langit ini. Sungguh, saya melihatnya dalam penghormatan hati, dalam memberi dan menerima. Pemberian dan penerimana ialah mutiara-mutiara dari dasar jiwaku yang terdalam untuk dirinya, kepingan jiwaku dalam jalin persahabatan. Aku laksana sofa yang memperlihatkan naungan kenyamanan untuk sang tuan. Sofa itu selalu menyambut walau dalam keadaan terinjak pantat hina.

“Berikan untukku keikhlasan, kehormatanmu dalam penerimaan dan pemberian, Gus,” kata Naira sambil mereaksikan tubuhnya yang membuktikan bahwa dirinya berada dalam kawasan yang salah, tidak layak untuk dirinya. Padahal ia sudah lama menghuni rumah ini, bersamaku dalam kesehariannya.

Aku hirup lembut udara yang diselimuti aroma kedaluwarsa yang cukup menyegarkan raga, lalu saya keluarkan. “Huh,” Aku keluarkan lagi alasannya masih terasa ada udara yang menyangkut dalam rongga dadaku. Memang terasa berat rongga dada ini untuk bernafas lega mengingat seiring beban yang masih menindih batin Naira.

Aku berusaha lepaskan nafasku, sambil melihat sekilas bibir tipis Naira yang terlihat kering, “Ketulusan ialah pakaian untuk kehormatan dalam santunan dan penerimaan biar tidak telanjang, tidak memamerkan diri dan tidak pula menyombongkan diri. Karena telanjang ialah pamer dan kesombongan diri yang halus. Ketulusanku dalam santunan kehormatan persahabatan untukmu.”

Usaha menanggapi ucapan Naira terlaksana. Aku lihat lagi bibir tipisnya yang sedang tergigit-gigit giginya. Seolah membuktikan bahwa keraguan masih menyelimuti hatinya.

Aku bukan orang kaya yang menganggap persahabatan dengan orang miskin ialah tidak layak, menyerupai halnya orang miskin yang menganggap persahabatan dengan orang kaya ialah tidak layak juga. Aku mengharapkan bahwa Naira tidak menyerupai pada umumnya orang miskin.

“Apakah ketulusan ialah keikhlasan?! Terlihat dua kata dalam kesamaan makna namun ... ah sudah lah!” Tanya Naira dengan nada sedikit ditinggikan. Ia mengomentari yang seakan tidak mengerti mengenai bahasa, atau memang alasannya kelihaian pikirannya. Karena sudah diakui, Naira ialah seorang yang cerdas walau tidak sekolah tinggi. Ilmu pemikiran wacana kesosialan sungguh bisa dijadikan referensi.

“Kenapa Naira berkata menyerupai itu? Seperti ada sesuatu teka-teki. Padahal saya tidak maksud membedakan wacana ketulusan dan keiikhlasan.”

“Terkadang, bahkan sering bahasa menyesatkan. Bahasa menjadi alat penyesatan sehingga hingga antar sesama bisa terjadi konflik sosial, Gus,” katanya menjelaskan.

Kebersamaan yang sunyi. Aku hanya menepuk-nepuk tumpukan dingklik berkali-kali sebagai betuk untuk memeriahkan suasana di ruangan ini walau tidak bisa memperlihatkan hiburan untuk saya dan Naira. Sungguh, pertanyaan itu bukan hal yang harus saya jawab, alasannya tidak ada makna penting. Namun, demi kelegaan dan kebahagiaan hati Naira yang sedang mencicipi penderitaan berkali-kali akhir kekerabatan sosial, saya terpaksa memperlihatkan penjelasan.

Aku menatap balik rupa Naira yang masih dalam lesu, walau itu hal yang wajar. “Ketulusan dan keikhlasan itu ialah hal yang sama, tidak dibeda-bedakan dan tidak ada penyesatan bahasa di sini,” kataku sambil sambil menegakkan punggung yang semula bersandar di sandaran kursi. Aku ingin meyakinkan dengan posisi duduk baruku ini.

"Oke! Aku menganggap bahwa itu hal yang sama. Namun, apakah saya harus mempercayaimu wacana ketulusanmu di ketika hal ini ialah belakang layar Tuhan? Bukan saya tidak bisa menatap ketulusanmu dengan mata telanjang. Mungkin budi akan menentang kata-katamu. Hanya perasaan yang menerimamu. Dan sekarang, perasaanku tidak sedang mempercayaimu 100%...,” kata Naira tegas yang cukup menusuk hatiku.

Memang Naira ialah seorang yang cukup cerdas walau ia tidak pernah sekolah hingga tingkat SMP. Aku juga heran, kenapa ia hingga begitu cerdas wacana segala gejala sosial yang ada. Memang ia sudah mengalami banyak sekali konflik sosial dalam lingkungannya yang cukup membuat seseorang layak mengakhiri hidupnya.

Memang, kehidupan keluarga Naira dianggap cukup harmonis sebelum alhasil tragedi simpulan hidup menimpa keluarga kecilnya. Orang tuanya terlilit hutang; bapaknya tidak bisa bekerja akhir kelumpuhan bertahun-tahun hingga alhasil meninggal; ibunya tidak bisa bekerja full alasannya untuk mengurusi 3 orang anak yang masih kecil-kecil; Naira putus sekolah dan terpaksa menjadi pembantu semenjak lulus sekolah SD; 3 adiknya masih membutuhkan perlindungan; dan ia berada pada lingkungan kumuh yang sering terjadi konflik, hingga menjadi materi rebutan cinta anak abg. Sungguh malang dan sangat menyayat hati, ketika umur 18, ia menjadi korban lelaki kaya, majikannya, yang tidak bertanggungjawab setelah ia memaksa berbuat yang tidak pantas. Masih banyak memang yang masih dirahasiakan Naira. Pedih rasanya. Sampai ia menangis, tidak kuasa mendapat pengalaman yang begitu menyakitkan.

Namun yang jadi masalah, kenapa Naira tumbuh menjadi cerdas? Ilmu apa yang ia pelajari? Bukan hanya cerdas otak, namun juga cerdas hati. ‘Tumbuh otak cerdas saja percuma bila hati tidak cerdas’, kataku membatin. Memang orang tuaku membantu melanjutkan pendidikannya hingga kuliah ketika bekerja di sini, sebagai pembantu. Namun yang ia minta hanya pendidikan kursus menjahit dan memasak saja, tidak lebih. Katanya, untuk menunjang skill sebagai pembantu. "Pembantu tidak selalu harus ndeso dalam dunia kerjanya," katanya.

“Aku tidak mengerti apa yang harus saya lakukan. Yang jelas, saya tulus dekat denganmu, walau kau pembantuku.”

Mata Naira sorot menantang.

“Makanya, saya tidak percaya wacana ketulusanmu dalam kehormatan penerimaan dan pemberianmu alasannya kau belum mengerti! Begitu luas dunia persahabatan itu. Tidak selamanya dalam mutiara ikhlas."

"Yang jelas, saya tulus dekat denganmu, titik!" Kataku lampiaskan kesungguhanku pada Naira.

"Kamu tahu rumah ini kan, Gus?"

"Ya," jawabku singkat.

"Punya siapa?"

"Punya orang tuaku."

"Dari dua orang yang berbeda jenis, bukan? Antara lelaki dan perempuan."

"Ya!"

"Apakah Gus Nefis tidak sadar, bila kehidupanmu nanti akan menyerupai ini? Gus Nefis selalu mengumbar pembahasan wacana persahabatan. Lantas, siapa yang akan menjadi kekasihmu?"

“Aku mengerti maksudmu. Kamu menginginkan kalau saya segera mencari pasangan, bukan? Karena saya layak untuk segera menikah. Usiaku sudah hampir kepala tiga. Hampir sama dengan usiamu. Tetapi bukan bersama sahabatku, menyerupai kamu. Karena kau ialah teman terbaik, bukan kekasih.”

“Lalu siapa? Setiap menjalin bersama perempuan, Gus Nefis hanya anggap sahabat. Aku tahu tentangmu dari banyak sekali kabar di kampus. Gus Nefis tidak pernah punya pacar walau banyak yang naksir. Apakah saya harus mengatakan, Gus Nefis itu ... maaf, tidak normal? Namun saya tidak akan mengatakan menyerupai itu. Aku percaya bahwa Gus Nefis masih memiliki ketertarikan pada lawan jenis.”

Aku tahu, Naira... Kamu yang belum mengerti maksudku. Kamu perlu tahu, saya hanya ingin melestarikan persahabatan. Kini, tema persahabatan lawan jenis tidak ada lagi kesejatian. Mereka sibuk keintiman persahabatan dengan lawan jenis hanyalah tipuan saja, alasannya pada ujungnya mengikat sebuah jalinan percintaan. Bahkan, hingga tega menghantam sahabatnya sendiri ketika kekasihnya diganggu, walau sekedar mengganggu waktu dengan kedekatan. Kamu perlu tahu."

"Tapi Gus Nefis perlu kekasih, Gus! Kita pun tetap dekat dengan baik walau kekasih berada di sampingnya,” kata Naira agak menekan. Mata Naira sedikit berkaca-kaca. Mungkin mengangap bahwa hal ini tidak mungkin terjadi.

“Aku ingin menyerupai itu. Tetapi, pembahasannya akan lain bila kau dan saya sudah sama-sama memiliki kekasih, hasil pernikahan. Aku ingin sekarang menikmati persahabatan.” Aku memang duka berkata menyerupai ini. Tapi, berarti saya membohongi dirinya. Namun rasa duka ini hanya spontan saja. Aku berusaha tetap dalam prinsipku.

Naira tersenyum sabit yang cukup menyegarkan suasana. Ada gambaram bahagia padanya walau agak dipaksakan. Aku tidak tahu, apa yang ada dalam hatinya. Cinta seharusnya tidak saya umbar, berkata di sembarang tempat. Sampai Naira berubah drastis, menunduk lesu, menangis dan sebagainya. Aku pun balas dengan senyum pula sebagai ketulusan persahabatanku padanya. Sampai takdir berkata lain.

Berkumandang adzan Dzuhur, menyelusup lemput ke dalam telingaku dan Naira. Kita sejenak dalam dengar pada bunyi adzan yang berkumandang merdu. Angan pun kembali menduga masa depan wacana kekerabatan persahabatanku dengan Naira. Aku tidak sanggup memandang masa depan, membahas wacana kekerabatan ini.

Sumber http://mutiaracintax.blogspot.com/

Popular posts from this blog

Ungkapan Cinta Di 17 September Mimpi Cinta

Mimpi memang selalu menghibur, menakutkan, menyedihkan atau biasa saja. Begitu juga ketika saya bermimpi tentangmu di siang bolong. Ya, saya memimpikan kau di siang bolong. Aku bermimpi setelah kira-kira beberapa hari saya memberimu pertanyaan via Facebook, “Biasa tidak mengamalkan ilmunya?” Mimpi itu hadir menemani tidur siangku. Mimpi yang membuatku sedih. Apakah mimpi perihal saya pun hadir dalam tidurmu? Aku mengharapkan itu terjadi pada tidurmu walau hanya satu kali dalam hidupmu. Waktu seakan terulang kembali jika sudah masuk dalam dunia mimpi. Aku bermimpi mengenai kita yang terkumpul kembali dalam dunia sekolah. Namun dunia sekolah yang berbeda. Dalam memimpikan dirimu, saya memendam rasa padamu. Teringat kembali reaksi perasaanku waktu masih sekolah dulu. Ya, ada bisikan perasaan khusus padamu waktu masih sekolah walau kau pun tidak tahu. Mimpi bersamamu itu bermain diantara tiga daerah sekaligus. Ibaratnya kita sedang bermain teknik hilang-hilangan yang begitu cepat berga...

Rumah Termahal 5 Gadget dunia Berdasarkan

5 Termahal Home Based dunia Gadget – Homewares adalah alat untuk mempercantik kamar, tetapi juga berfungsi sebagai media dengan fungsi tertentu dari furnitur itu sendiri. Namun ruangan kami merasa kesepian tanpa kehadiran beberapa gadget untuk mengubah gadget atmosphere.Electronic seperti televisi, home theater, sound system adalah beberapa gadget yang berfungsi sebagai media Rumah Termahal 5 Gadget dunia Berdasarkan

Rubiah Island Dive Festival - NAD

sebagai keindahan alam Indonesia membentang dari Sabang ke Merauke, salah satunya terletak di kota Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Pulau Rubiah dekat Pulau Weh. Wilayah perairan pulau menawarkan 2.600 hektar keindahan alam pariwisata bawah laut dan laut adalah alami. Sebelumnya Pulau Rubiah adalah sebuah pulau sebagai tempat transit bagi calon jamaah haji dari Aceh yang ingin berlayar ke arah Mekkah pada saat berbunga Aceh. Selama Perang Dunia Kedua, pulau ini merupakan kubu Belanda dan Jepang, dan hingga saat ini pertahanan tim Belanda runtuh bangunan masih terlihat di sana. Pulau ini dikenal sebagai taman laut surga karena bentuknya seperti akuarium raksasa. Ini memiliki banyak spesies ikan tropis, karang, kerang raksasa, dan banyak lainnya. Karang terdiri dari berbagai jenis, bentuk dan warna yang merupakan gugusan terumbu bunga. Untuk mengakses daerah ini, dapat melakukan perjalanan dengan tanah atau air dengan menggunakan perahu nelayan. Jika menggunakan perahu, ...